Belajar, Ajarkan dan Amalkan
15 Mei 2009
KADO DI HARI PENCONTRENGAN
Masyarakat Indonesia pada hari itu memang disibukkan. Selain panitia dan konstituen, pilar ke empat dari sebuah demokrasi yaitu pers pun ikut disibukkan. Baik itu cetak maupun elektronik, semua media cetak (surat kabar) memberitakan mengenai pemilu dan media elektronik pun demikian. Hal ini memanglah tidak bisa penulis pungkiri karna pemilihan umum ialah hajatan terbesar bagi bangsa kita dan sudah semestinyalah kita disibukkan dengan hajatan besar tersebut. Namun tahu kah pembaca semua, dibalik kesibukkan kita pada hari tersebut ada satu hal yang mungkin sempat terlupakan oleh kita semua, bahwa pada hari itu Political and Economic Risk Consultancy (PERC) memberikan kado bagi bangsa Indonesia yaitu Negara kita adalah Negara terkorup di Asia (Kompas, 9 April 2009)
Mungkin pembaca setia Radar Lampung tidaklah begitu kaget mendengarnya karna memang di setiap sejarah penyusunan peringkat daftar Negara-negara terkorup, Negara kita Indonesia memang belum atau tidak pernah sama sekali berada dalam kategori Negara terbersih dan hal ini tentunya sangatlah disayangkan sekali. Di tahun 2001 misalnya Transparancy International Indonesia (TII) menyimpulkan, Indonesia berada pada peringkat keempat negara terkorup di dunia dan PERC di tahun yang sama juga menobatkan Negara kita sebagai Negara terkorup kedua di Asia. Dan kini di tahun 2009 PERC menobatkan kita sebagai Negara terkorup di Asia. Sungguh ‘prestasi’ yang fantastis sekali.
PERC atau Political and Economic Risk Consultancy yang bermarkas di Hongkong mengatakan Negara kita terkorup di Asia ialah berdasarkan survey yang dilakukan PERC dengan menjadikan pebisnis asing di setiap Negara yang disurvei sebagai respondennya. Daftar tersebut disusun untuk mengukur iklim investasi di suatu Negara apakah baik atau buruk. Dan salah satu indikator yang dijadikan sebagai pengukur iklim investasinya ialah faktor korupsi di Negara tersebut.
PERC menyusun daftar ini setiap tahun, dan setelah di survey dengan ekspatriat yang ada di negara kita, hasilnya adalah negara kita menempati posisi puncak yang disusul oleh Thailand dan Kamboja dalam peringkat Negara terkorup di Asia. Nau’zubilla hi min dzhalik
Meringis sekali mendengarnya, namun ini adalah sebuah kenyataan. Korupsi memang sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan atau bahkan menjadi sebuah budaya di Negara kita. Ibarat penyakit di tubuh, korupsi telah menggerogoti sebagian anggota tubuh kita. Tah kenapa, namun yang jelas hal ini seakan telah mengakar didalam tubuh public servise kita mulai dari tingkat RT sampai ke tingkat tertinggi sekalipun. Lihat saja sejumlah anggota dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kita seperti halnya Hamka Yandhu, Anthony Zeidra Abidin, Saleh Djasit, Sarjan Taher, Al Amin Nasution, Bulyan Royan, Yusuf Emir Faisal serta yang terbaru ialah Abdul Hadi Djamal dan itu semua adalah yang sedang diproses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kita semua tidak pernah tahu berapa banyak lagi pejabat public kita di luar sana yang terlibat kasus korupsi namun belum sempat tercium oleh KPK.
Sehingga wajar saja jika ada yang olok-olokan “pada era Orde Lama, korupsi di lakukan di bawah meja. Pada Era Orde Baru, korupsi dilakukan di atas meja. Dan pada era Reformasi, korupsi tidak hanya di lakukan di atas meja, malah mejanya juga turut diembat” dan parahnya lagi selain dilakukan terang-terangan dan mengkorupsi ‘meja’, yang melakukan korupsi kebanyakan adalah orang-orang yang nota bene mengaku dirinya adalah seorang muslim. Sangat disayangkan sekali seorang muslim tapi melalukan korupsi, nah sekarang timbul pertanyaan kemanakah nilai – nilai agama yang selama ini melekat di dalam tubuhnya?
ISLAM MEMANDANG KORUPSI
Penulis pikir tidak hanyalah Islam yang menentang soal korupsi. Ajaran agama apapun didunia ini menentang yang namanya korupsi dan segala macam bentuknya. Ini dikarnakan korupsi adalah bentuk kejahatan yang dapat berdampak pada orang banyak. Bila kita bandingkan dengan seorang maling ayam, yang dirugikan saat itu hanyalah orang yang kehilangan ayam dan ini hanya berdampak pada orang yang kemalingan tersebut namun jika korupsi hal ini bisa berdampak pada masyarakat luas. Hal inilah yang menyebabkan Islam memandang korupsi sebagai sesuatu yang haram. Nabi Muhammad SAW menegaskan kepada kita “Barang siapa yang merampok dan merampas, atau mendorong perampasan, bukanlah dari golongan kami (yakni bukan dari golongan umat Muhammada SAW)” (HR Thabrani dan al-Hakim). Adanya kata-kata laisa minna, bukan dari golongan kami, sudah menunjukkan bahwa perampasan termasuk juga korupsi adalah haram karna telah merampas kesejahteraan rakyat banyak. Lebih jauh lagi, Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis yang berasal dari ‘Addiy bin’Umairah al-Kindy yang berbunyi “Hai kaum muslim, siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai Negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Lalu, kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti…Siapa yang kami beri tugas hendaknya ia menyampaikan hasilnya, sedikit atau banyak. Apa yang diberikan kepadanya dari hasil itu hendaknya ia terima, dan apa yang tidak diberikan janganlah diambil.” Kemudian ada juga Sabda Rasulullah SAW, “Siapa saja yang mengambil harta saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya (kekuasaan), ia akan dimasukkan kedalam neraka, dan diharamkan masuk surga.” Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasul, bagaimana kalau sedikit? Rasulullah lalu menjawab “Walaupun sekecil kayu siwak “ (HR Muslim, an-Nasai, dan Immam Malik dalam al-Muwwatha) Dilihat dari hadis tersebut, jelaslah korupsi adalah haram dan tentunya sesuatu yang haram haruslah segera dihilangkan karna cepat atau lambat masyarakat Indonesia akan merasakan dampak dari korupsi yang dilakukan oleh para elit-elit politik kita. Untuk itu melalui tulisan sederhana ini penulis ingin mengajak pembaca setia Radar Lampung untuk memilih pemimpin di pilpres mendatang yang tegas seperti hal nya teladan Umar bin Khathtab “ Setiap mengangkat pemimpin, Khalifah Umar selalu mencatat kekayaan orang tersebut. Selain itu, bila meragukan kekayaan seorang pengusaha atau pejabat ia tidak segan-segan menyita jumlah kelebihan dari kekayaan yang layak baginya, yang sesuai dengan gajinya” pernyataan ini membuktikan bahwa Khalifah Umar tegas dalam mengusut kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi dengan menggunakan rumus yang sangat sederhana sekali yaitu apabila ia memiliki kekayaan yang berlimpah namun itu semua sebenarnya tidaklah mungkin diperoleh dengan gaji yang didapatkan selama sekian lama menjabat maka Khalifah Umar tidak segan-segan untuk menyita sebagian harta kekayaannya. Itulah bukti ketegasan Khalifah Umar dan mungkinkah sifat Umar itu ada pada pemimpin kita mendatang?
Semua hal mungkin saja terjadi asalkan kita di pemilihan presiden mendatang jeli dalam memilih pemimpin sehingga Negara kita bisa memperbaiki diri secepatnya agar tidak menjadi Negara Kleptokrasi (Negara para maling) seperti halnya julukan dari Wasingatu Zakiyah pada Negara kita Indonesia tercinta ini.Waula’hualam……
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home