Belajar, Ajarkan dan Amalkan

13 Des 2009

People Power Generasi Koin

Negeri ini memang penuh dengan ironi. Disaat “malaikat-malaikat” di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui pansus Century mencoba mencari kebenaran, disaat itu pulalah masyarakatnya melalui gerakan koin untuk Prita Mulyasari mencoba mencari keadilan di dalam sebuah tumpukan jerami.

Bagi penulis ada hal yang sangat menarik sekali dari gerakan koin untuk Prita terutama ketika penulis bersama dengan teman-teman yang tergabung di dalam Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bandar Lampung memanfaatkan momentum wisuda pada kamis (10/12) kemarin untuk menggugah wisudawan-wisudawati untuk ikut mengumpulkan koin-koin peduli Prita.

Ketika itu seorang anak kecil, dengan didampingi kedua orang tuanya membuka tas dan memberikan recehan-recehan uang tabungannya yang sudah dibungkus dengan plastik putih. Kepada penulis ia berujar, “Ini Om untuk Tante Prita”, dengan tersenyum dan bangga penulis menerima tabungannya tersebut sembari mengucapkan terima kasih kepada anak kecil tersebut. Terbesit dipikiran penulis, ini lah yang harus tertanam dari generasi-generasi bangsa ini yakni mengenai kepedulian terhadap sesama.

Kepedulian untuk bahu membahu membantu Prita Mulyasari yang terkena gugatan oleh Rumah Sakit Omni Internasional sebesar Rp 204 Juta memanglah sangat tampak sekali. Pengumpulan koin ternyata terjadi secara besar-besaran dan meluas ke berbagai daerah. Baik dari anak-anak usia dini sampai pada orang tua. Mulai dari ibu kota sampai keberbagai pelosok dan pinggiran kota. Bahkan ketika RS Omni dengan tegas mencabut gugatannya, generasi-generasi koin tersebut pun tetap saja berdatangan silih berganti ke setiap pos-pos koin peduli Prita.

Di Bandar Lampung saja misalnya, berdasarkan pengamatan penulis pribadi ketika bertandan ke posko peduli Prita yang terletak di depan pasar Koga ini, setidaknya sekitar delapan jutaan uang koin berhasil terkumpul sampai hari Jum’at sore. Hal ini tentunya menunjukkan animo kepedulian yang sangat tinggi dari masyarakat kita yang bertujuan tak lain dilakukan sebagai bentuk empati generasi koin untuk meringankan beban dari Prita Mulyasari.

Generasi koin, terutama bagi anak usia dini dalam koin untuk Prita setidaknya telah mengajarkan kepada mereka semua sebuah sisi positif untuk terlibat di dalam interaksi sosial di dalam masyarakat. Rasa empati itu telah hadir dari generasi kita sejak usia dini, dan seharusnya kita wajib merasa bangga atas kepedulian tinggi tersebut.

Namun di balik kebanggaan itu, kini terlahir juga rasa keprihatinan yang sangat mendalam terutama ketika kita berbicara mengenai keadilan di negeri ini. Keadilan di negeri ini tak ubah seperti suatu zaman modern yang merupakan bagian dari hermeneutics of suspicion yaitu zaman marxizme.

Ketika palu diketukkan oleh Hakim, terasa benar apa yang diingatkan pada zaman tersebut bahwa keadilan dan kebenaran selamanya adalah keadilan dan kebenaran dari yang berkuasa. Dengan kata lain, di dalam rumusan dan penentu kebijakan selalu ada perebutan hegemoni dan pertarungan kekuasaan antara si kaya dengan si miskin, si besar dengan si kecil dan si lemah dengan si kuat.

Hal ini tentunya mengingatkan kita semua pada 79 tahun silam lamanya. Ketika itu bung Karno memulai pledoinya dengan sebuah statemen yang sangat menarik sekali. Sebuah statemen yang menunjukkan, betapa palsunya klaim pemerintah kolonial bahwa kebenaran dan keadilan yang hendak ditegakkannya dalam tubuh hukum adalah kebenaran dan keadilan yang universal.

Bung Karno menyatakan apa yang salah di dalam hukum yang digunakan hari itu dengan pernyataan, “Tuan-tuan hakim, kami disini di dakwa bersalah menjalankan hal-hal, yang sangat sekali memberi kesempatan lebar pada pendapat subyektif……………”

Jaksa ketika itu menyatakan bung Karno bersalah berdasarkan pasal “pemberontakan” namun menurut bung Karno pribadi pasal itu seperti haatzaai artikelen atau pencegahan penyebaran rasa benci. Dimana pasal itu mengandung kata-kata yang bisa di tafsirkan seenaknya oleh yang membacanya, terutama para jaksa dan para kolonial (Catatan pinggir Tempo)

Seperti itu lah sesungguhnya kasus yang menimpa Prita Mulyasari saat ini. Setidaknya ia harus menghadapi dua tuntutan sekaligus. Pertama, Prita di vonis oleh Hakim untuk membayar ganti rugi terhadap Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra yang saat ini gugatan yang pertama kini telah dicabut. Sedangkan yang kedua, ia masih harus menghadapi perkara pidana terkait dengan pencemaran nama baik terhadap rumah sakit tersebut.

Kedua tuntutan ini menurut kandidat doktor hukum kesehatan dari Universitas Gajah Mada M. Fakih, di dalam opininya membangun komunikasi dokter dan pasien yang diterbitkan di harian ini, Sabtu (12/12) tidaklah seharusnya dialami Prita jika pihak Omni dalam hal ini telah memberikan pelayanan bermutu sebagaimana undang-undang kesehatan No 36/2009 yakni mengenai ketetapan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.

Selain itu juga, hal ini tidak akan terjadi jika Omni mengikuti pola hubungan patient-center care atau partnership yang pada dasarnya merupakan pola perawatan kesehatan yang pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan pasien. Dimana pasien mempunyai suatu otonomi penuh atas dirinya. Pasien sangat menentukan keputusan-keputusan medis yang akan diterima. Pasien bebas untuk menerima atau menolak tindakan medis yang ditawarkan oleh Dokter.

Namun kini semua telah terjadi, walaupun secara perdata gugatan tersebut telah dicabut namun kini setidaknya Prita harus berhadapan dengan pencemaran nama baik yang diadopsi dari pasal-pasal karet dan aturan yang menurut bung Karno ketika ia ditetapkan bersalah dan dihukum empat tahun penjara dan di kurung di Sukamiskin ini merupakan pasal atau aturan karet yang keliwatan kekaretannya.

Artinya aturan tersebut dapat direntangkan dan dikerutkan sesuai dengan kepentingan sepihak atau apa yang di katakan Soekarno sebagai subyektif. Dari itu semua dapat tersimpulkan bahwa keadilan dan kebenaran yang bersifat universal seharusnya bagi semua orang, kini telah direduksi menjadi pasal-pasal. Dengan kata lain, yang universal, yang tak terhingga telah dikuasai oleh bahasa, system simbolik yang mau mendikte karena berkuasa.

Untuk itulah Presiden pertama kita mengingatkan kita semua mengenai retorika yang di kenal sebagai Indonesia Menggugat. Bahwa menurut bung Karno diberi hak-hak atau tidak diberi hak ; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan ; diberi penguat atau tidak di berikan penguat-tiap-tiap machluk, tiap-tiap ummat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti achrirnja berbangkit, pasti achirnja bangun, pasti achirnja menggerakkan tenaganja, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan tjelakanja diri teraniaja oleh suatu daja angkara murka.

Dan kini tiap-tiap ummat dan tiap-tiap mahluk seperti apa yang dikatakan oleh Bung Karno melalui koin peduli untuk Prita Mulyasari telah bangkit dan bangun untuk mencari sebuah cahaya terang yang bernama keadilan. Hal itu dilakukan karena keadilan di negeri ini kini mungkin sama persis seperti digambarkan di dalam novel Kafka, Der Proseb yakni ialah mengenai keadilan yang mempunyai sayap pada tumit kakinya.

Dimana keadilan bisa terbang dari satu tempat yang tak terbatas, terutama ketika hukum telah merasa menjadi hukum yang begitu angkuh seperti sekarang ini, hari ini dan yang terjadi di negeri penuh dengan ironi ini, Indonesia ku. Wallahu’alam Bishawabi
posted by Irul Terate at 22.05 0 comments

11 Des 2009

Berkaca Pada Perdana Menteri China

Setelah diperdengarkan drama besar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 13/11 yang menyingkap upaya suap yang diikuti upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hampir tak tersisa harapan akan adanya lembaga Negara yang akan bebas dari korupsi.

Meminjam istilah penyanyi legendaris, Iwan Fals bahwa korupsi saat ini berkembang biak sampai kelurahan adalah benar adanya. Terutama di negeri ini, hampir tidak ada satupun institusi Negara yang tidak terkontaminasi oleh penyakit korupsi. Ibarat penyakit, korupsi sudah memasuki stadium empat atau dalam masa kritis.

Kenyataanya memanglah seperti apa adanya, pusaran badai korupsi memang terjadi di berbagi lembaga di negeri ini. Dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kejaksaan, Kepolisian, bahkan orang-orang yang berkutat dengan urusan keagamaan pun (baca, Departemen Agama) tak lepas dari yang namanya korupsi.

Memang itu hanyalah oknum, namun itu dahulu dan kini korupsi sudah dilakukan secara berjamaah. Ibaratnya jika dahulu korupsi dilakukan di bawah meja maka sekarang korupsi dilakukan dengan terang-terangan di atas meja, bahkan mejanya pun ikut dikorupsi. Prilaku yang sangat parah tentunya.

Pertanyaannya, apakah yang menyebabkan maraknya prilaku korupsi di negeri ini? Dalam suatu jajak pendapat yang dilakukan oleh salah satu media nasional menyimpulkan bahwa lebih dari separuh responden, dari 881 responden yang di survey mengatakan bahwa salah satu maraknya prilaku korupsi di negeri ini tak lain disebabkan oleh hukuman yang terlalu ringan.

Bagi penulis, terlepas dari keterlibatan langsung maupun tidak langsung para penegak hukum atau yang lainnya dalam menjatuhkan vonis akibat putaran korupsi memang penulis nilai hukumuannya terlalu ringan. Contoh kecil, ialah vonis yang dijatuhkan kepada ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah periode 1999-2004, Mardijo, hanya dihukum setahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Padahal ia terbukti mencuri uang anggaran belanja daerah sebesar 14,8 milliar.


Pertanyaanya, hukuman apakah yang pantas sehingga memimbulkan efek jera bagi para koruptor? Pertanyaannya mungkin akan kita jawab jika kita berkaca pada China.
Belajar menghukum para koruptor bagi bangsa ini haruslah sering berkaca pada Negara-negara yang tidak pernah menempatkan koruptor di negaranya. Salah satu Negara tersebut adalah China.

China terutama ketika perdana menteri Zhu Rongji berkuasa sangatlah keras bagi koruptor. Ketika ia di lantik tahun 1998, ia mengatakan bahwa berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirimkan untuk para koruptor. Satu buat saya sendiri jika saya pun melakukannya.

Apa yang dikatakan Zhu tidaklah sekedar pepesan kosong belaka, namun sedikit-sedikit ia mulai menempati janjinya. Setidaknya partai komunis China, pejabat tingginya yang bernama Cheng Kejie dihukum mati karena terlibat suap 5 juta dolar. Tanpa ampun, permohonan bandingnya pun ditolak pengadilan.

Selain itu, Zhu juga pernah mengirimkan peti mati bagi koleganya sendiri, Hu Chang Ging. Ia adalah wakil Gubernur Provinsi Jiang Xi. Ia dijatuhi hukuman mati dengan cara ditembak setelah terbukti menerima suap berupa mobil dan permata senilai 5 milliar.

Tak hanya itu, deputi general manager cabang bank konstruksi China yang merupakan salah satu bak milik Negara di Provinsi Sichuan, dihukum mati karena korupsi. Lelaki 37 tahun itu terbukti merugikan bank sebesar 4 juta yuan atau sekitar Rp 3,9 milliar sejak tahun 1998 sampai 2001.

Hu Chang Ging, Xiao Hongbo dan Cheng Kejie adalah tiga orang diantara lebih dari empat ribu orang yang dihukum mati sejak tahun 2001 karena terbukti melakukan kejahatan, termasuk korupsi.

Apa yang di lakukan Zhu sempat mendapat tentangan dari Amnesti Internasional (AI) yang mengutuk cara perdana menteri ini dalam memberantas korupsi namun menurutnya inilah cara dirinya untuk menyelamatkan Negara dari kehancuran.

Ribuan peti mati yang telah terisi, tidak hanya bagi para koruptor tetapi juga untuk para pengusaha bahkan wartawan. Ketegasan Zhu di dalam penetapan hukuman tidak hanya bagi koruptor tetapi juga pelanggaran-pelanggaran lainnya. Setidaknya selama empat bulan di tahun 2003, sebanyak 33.761 polisi di Negara tersebut di pecat karena berjudi, mabuk-mabukan dan menerima suap. Mampukah negeri ini menerapkan seperti apa yang di terapkan oleh perdana menteri Zhu?

Menurut Zhu ia hanya berprinsip untuk membunuh seekor ayam untuk menakuti seribu ekor kera. Dan prinsip tersebut kini telah terbukti, sejak ayam-ayam dibunuh. Kera-kera di Negara tersebut mengalami ketakutan yang sangat. Akibatnya mereka enggan untuk melakukan korupsi. Dan kini dampak logis dari semua itu adalah pertumbuhan ekonomi China yang semakin tahun semakin meningkat.

Perekonomian China kini tumbuh 7,9 persen selama kuartal kedua 2009 dan ini merupakan sesuatu yang mengagumkan bagi kekuatan utama Asia.
Bisakah negeri kita mencapai perekonomian seperti China? Bagi penulis semua akan mampu jika kita tidak selalu menjadikan dan membiasakan prilaku korupsi menjadi teman bagi diri kita sendiri.Semoga***i
posted by Irul Terate at 00.36 0 comments

10 Des 2009

Fokus Pemberantasan Korupsi

Tepat 9 Desember, secara global, dunia memperingati hari anti korupsi Internasional. Di tahun ini agaknya hari tersebut jauh lebih booming dari tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana tidak, beberapa hari sebelum hari itu tiba, orang nomor satu di negeri ini menjadi cemas.

Kecemasan itu setidaknya disampaikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di hadapan kader Partai Demokrat di sela-sela rapat pimpinan nasional di Jakarta, Convention Center (JCC), Senin, (6/12). SBY menyebutkan bahwa akan ada gerakan politik pada 9 desember yang tidak hanya bermaksud menggoyang pemerintahannya, tetapi juga ingin menurunkan dirinya dari kursi presiden.

Kecemasan serupa itu pun pernah diungkapkan SBY ketika memberikan pidato pengantar pada rapat kabinet paripurna, Jum’at (4/12). Yudhoyono mengungkapkan akan ada gerakan sosial politik yang memiliki motif politik tersendiri ketika perayaan hari anti korupsi nantinya.

Pernyataan yang disampaikan Yudhoyono itu adalah berdasarkan perenungan dan olah pikir dirinya sendiri . Menurut peneliti senior LIPI Syamsudin Haris, pernyataan itu merupakan sikap dari ketidakpercayaan presiden. Sikap itu menurutnya sangatlah berlebihan, tidak produktif, dan tidak percaya diri dengan keterpilihannya yang absolute di dalam pemilu lalu (Radar Lampung, 7/12)

Situasi yang kian memanas tersebut jika kita telusuri akar rumputnya tentunya tidaklah terlepas dari dana Bank Century yang diduga mengalir ke sejumlah partai, salah satunya ialah diindikasi mengalir ke partai berlambang mercy itu sendiri.

Namun kecemasan orang nomor satu di negeri ini tersebut nanti akanlah terjawab sudah. Dari kaca mata penulis, masyarakat yang melakukan berbagai aksi yang tergabung di dalam berbagai elemen anti korupsi yang turun kejalanan hari ini nantinya hanyalah sebagai bentuk dukungan moril kepada penegak hukum atau pihak yang berwenang untuk melanjutkan pemberantasan korupsi di negeri ini.

Korupsi memang tak hanya di Indonesia yang telah menggerogoti setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan juga di berbagai belahan Negara lain. Untuk itulah setiap 9 Desember dirayakan sebagai momentum untuk memperingati perlawanan terhadap korupsi di seluruh dunia.

Korupsi sesungguhnya memanglah selalu menjadi tujuan perjuangan aparat penegak hukum dan elemen perjuangan. Begitu banyak upaya dikerahkan untuk melawan korupsi sampai-sampai seluruh Negara diberikan rangking korupsinya. Hal ini bertujuan tak lain demi mengubah dan memberikan sanksi sosial di antara bangsa-bangsa tentunya.
Pertanyaannya bagaimana dengan Indonesia? Untuk Negara kita korupsi merupakan salah satu isu hangat yang selalu diperbincangkan sepanjang waktu. Baik itu dari orang-orang kota maupun masyarakat awam yang ada di pedesaan.

Hal ini terjadi tak lebih dari banyaknya kasus-kasus korupsi yang sering terjadi, terlebih lagi ketika perseteruan cicak versus buaya yang beberapa minggu lalu yang menjadi sorotan media bak terorisme yang menghangat sebelumnya.

Untuk itu wajar saja ketika masa-masa kampanye, korupsi merupakan salah satu alat yang digunakan oleh para calon untuk memikat hati pemilih dengan jargon katakan tidak pada korupsi atau yang lainnya. Tentunya hal itu dilakukan mereka agar berupaya untuk menyakinkan hati publik bahwa partai politik mereka adalah partai yang mempunyai komitmen untuk memberantas korupsi sehingga kesejahteraan pun bagi masyarakat kita segera menghampiri.

Korupsi memang selalu dianggap berhubungan dengan kesejahteraan dari sebuah bangsa. Negara bersih, Negara bebas korupsi dan Negara semakin sejahtera. Dimana-mana selalu ada justisfikasi seperti itu.

Untuk Negara kita memang belum banyak berubah. Dalam berbagai survey akan indeks korupsi di Negara kita, memanglah belum ada perubahan drastis. Tempat duduk kita selalu belum beranjak dari posisi nomor urut “bontot” dalam perlawanan terhadap korupsi.

Tahun 2007 misalnya, indeks persepsi korupsi (IPK) kita berada pada urutan ke 143 dari 180 negara yang disurvei. Di tahun 2008 kita “naik kelas” menduduki tempat 126 tetapi tidak lebih baik dari Nigeria atau juga Vietnam.

Sedangkan ditahun ini dalam survey yang dilakukan oleh Transparency International dengan rentang indeks dari 0 (terkorup) hingga 10 (terbersih), Negeri ini mendapatkan nilai 2,8 naik dari sebelumnya 2,6. Dan nilai ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke 111 dari 180 negara yang disurvei.

Peringkat yang didapatkan ini ternyata dianggap terbersih selama kurun waktu 14 tahun. Sedangkan di dalam lingkup yang lebih kecil, yakni sepuluh Negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), Indonesia naik peringkat menjadi kelima di bawah Singapura (9,2), Brunei Darussalam (5,5), Malaysia ( 4,5) dan Thailand dengan skor 3,4. Prestasi yang “baik” setelah setahun sebelumnya negeri ini berada pada posisi buncit.

Indeks persepsi korupsi yang respondennya di dapatkan dari pelaku bisnis itu menumbuhkan sebuah harapan tersendiri tentunya. Kesempatan dan peluang untuk berinvestasi di Indonesia dinilai akan semakin kondusif dan menarik bagi para pemilik modal untuk dapat berinvestasi di negeri ini. Pertanyaannya kini, mampukah kita mempertahankan atau bahkan memperbaiki kondisi yang sudah semakin membaik ini? Kita semua berharap tentunya.

Korupsi memanglah sebuah kenyataan yang harus kita hadapi di dasawarsa ini. Perang terhadap korupsi semestinya bukanlah hanya tugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau lembaga lainnya. Hal ini merupakan tugas utama atau tanggung jawab kita bersama untuk memberantas korupsi. Karena bagaimana pun juga, tidak ada salah satu agama manapun yang menurut hemat penulis yang membenarkan akan praktik korupsi.

Korupsi di Negara ini memang sudah dipercaya telah ada sejak Negara ini merdeka. Kasus korupsi PN Triangle Corporation yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar 6 miliar pada tahun 1960 adalah salah satu contohnya.

Ketika itu, kapten Iskandar yang menjabat sebagai Manager PN Triangle Corporation didakwa menyalahgunakan kedudukan dan jabatanya serta melakukan pelanggaran terhadap perintah penguasa perang daerah Jawa Barat.

Kapten Iskandar sewaktu itu dituntut hukuman mati dalam sidang pengadilan tentara daerah militer VI siliwangi karena terbukti menjual kopra dan minyak kelapa dengan harga yang telah ditetapkan (Kompas, 25/09/1965)

Parahnya prilaku korupsi itu terus berlanjut sampai sekarang. Didalam catatan litbang kompas, selama 2005 hingga 2009 saja terjadi kasus korupsi di 21 lembaga, mulai dari lembaga Negara seperti penegak hukum, Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Departemen, Birokrasi, Pemerintah Daerah, Partai Poltik, hingga anggota parlemen.
Sedangkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, dari tahun 2004 hingga 2008 saja ada 211 kasus korupsi yang diselidiki, 107 perkara penyidikan, 75 perkara penuntutan, 59 perkara telah berkekuatan hukum tetap, dan 53 perkara telah dieksekusi.

Penyelewengan ini terjadi tidak hanyalah terjadi di kalangan elit kekuasaan tetapi juga telah merembet ke akar rumput dari birokrasi kita. Hingga kini, nama-nama seperti Nur Amin Nasution, Bulyan Royan, Achmad Natukusumah yang diduga terlibat kasus korupsi dan suap dana pinjaman daerah Rp 200 miliar di Bank Jabar pada tahun 2006, ketika menjabat Bupati Pandeglang, Banten, dan lain-lain adalah contoh segelintir pejabat kita yang mendekam di jeruji besi akibat kasus korupsi.

Untuk itulah melalui peringatan hari anti korupsi ini sebenarnya merupakan momen penting refleksi bagi kita bersama untuk memfokuskan diri dan mengatakan bahwa musuh bersama kita ada korupsi.***i
posted by Irul Terate at 00.38 0 comments

3 Des 2009

Selamatkan Bumi Kita

Membaca tulisan dari P. Nasoetion, Dosen Teknik Lingkungan Universitas Malahayati Lampung yang berjudul Green Campus Vs Pemanasan Global yang di muat di harian radar lampung (2/12) perlu lah kita respon semaksimal mungkin.

Setidaknya bagi penulis pribadi, opini tersebut bisa kita simpulkan menjadi beberapa poin penting yang harus kita perhatikan. Pertama adalah program eco-campus (Green Campus) adalah program yang bersifat sukarela yang harus muncul dan terbangun kesadarannya serta kepeduliannya dari warga kampus untuk peduli terhadap lingkungan.

Pada dasarnya kampus adalah tempat berkumpul para intelektual dan tempat dilahirkannya para intelektual muda yang notabene mereka adalah generasi penerus bangsa yang tentunya nanti di harapkan dapat menjadi contoh bagi institusi lain dalam pengelolaan lingkungan.

Kedua adalah pemanfaatan sumber daya yang ada di lingkungan kampus secara efektif seperti pemanfaatan kertas, alat tulis menulis, pengelolaan sampah dan lainnya dalam kegiatan tersebut haruslah dapat diukur secara kualitatif sehingga bisa dilakukan evaluasinya nantinya.

Terakhir point penting yang dapat penulis tangkap di tulisan tersebut adalah bahwa kampus merupakan salah satu pilar yang harus bertanggung jawab dalam hal mengurangi pemanasan global.

Menarik sekali. Mudah-mudahan kini setiap Universitas yang ada di Provinsi Lampung dapat segera ikut serta dalam program eco-campus atau green campus dalam upaya pengurangan pemanasan global. Bahkan mungkin tidak hanya kampus melainkan juga sekolah-sekolah dengan tema green school atau pun instansi-instansi pemerintah dan swasta dapat ikut melaksanakan program ini dalam upaya penyelamatan dunia dari pemanasan global.

Seperti yang kita ketahui isu pemanasan global kini telah menjadi sorotan dunia. Film yang menggambarkan kehancuran dunia, 2012 setidaknya adalah gambaran visualisasi sederhana bagaimana ketika pemanasan global tidak segera kita tanggapi maka dunia akan luluh lantah seperti itu.

Menurut prediksi dari Invergovermental Panel On Climate Change (IPCC) secara ilmiah diprediksikan usia bumi tinggal seratus tahun lagi terhitung sejak terjadinya pemanasan akibat ulah tangan manusia sendiri para kurun waktu 1990-2000.

IPCC memprediksikan perhitungan itu berdasarkan pada prediksi pemakaian emisi gas dan dampak rumah kaca. Kalau panas bumi mencapai kenaikan sebesar empat derajat celcius, maka system bumi akan hancur.

Untuk itulah IPCC pun meminta Negara-negara maju untuk menurunkan gas rumah kaca pada tahun 2015, sedangkan untuk Negara berkembang diminta melakukan hal yang serupa pada 2025. Hal ini dimaksud untuk mengurangi pemanasan global dalam kisaran dua derajat celcius.

Lantas bagaimana isu pemanasan global di tanggapi oleh negara kita? Setidaknya kini masyarakat Asia terutama di Indonesia telah merasakan dampak dari perubahan iklim tersebut. Debit air yang sepanjang tahun berkurang, memburuknya kondisi kesehatan, kepunahan hewan dan tumbuhan adalah dampak perubahan iklim yang semakin hari semakin kita rasakan.

Kita patut bersukur dalam pemaparan prioritas pada program 100 hari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di kantor presiden awal November lalu menanggapi isu pemanasan global ini menjadi salah satu prioritasnya. Indonesia kini memiliki posisi yang jelas dalam ikut serta mengelola perubahan iklim global karena kini Negara kita telah mempunyai posisi yang jelas, timeline yang jelas dan juga parnertship dalam mewujudkan prioritas tersebut.

Salah satunya menurut presiden adalah dengan pengelolaan hutan yang menjadi perhatian utamanya. Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia adalah menjadi salah satu paru-paru dunia karena negeri kita memiliki hutan tropis terbesar ketiga dunia.
Sejak ratusan tahun silam hutan kita telah menjadi sumber kehidupan bagi bangsa ini. Berawal dari pemanfaatan aneka hasil hutan yang ada kemudian berkembang ke pendekatan industry untuk mampu menjaring devisa yang besar melalui komoditas kayu pada pertengahan tahun 60an, 80an hingga tahun 2000an.

Namun sayangnya pemanfaatan hutan itu tidaklah diikuti oleh peremajaan hutan itu kembali. Akibatnya kini kita bisa melihat dan merasakan konsekuensi logis atau dampak dari tidak adanya peremajaan hutan itu kembali. Selain itu, berubahnya fungsi kawasan hutan menjadi lahan pertanian atau tempat tinggal, serta pembangunan infrasruktur dan industry di kawasan juga dikhawatirkan akan mempengaruhi daerah aliran sungai di lahan tersebut sehingga tata air menjadi tidak seimbang.

Renungkanlah sebuah pidato dari seorang anak yang bernama Severn Suzuki yang ketika pada usia 9 tahun ia mendirikan Enviromental Children’s Organization (ECO). ECO sendiri adalah sebuah kelompok kecil anak-anak yang mendedikasikan dirinya untuk belajar dan mengajarkan pada anak-anak lainnya mengenai masalah lingkungan.
Ketika ia berumur 12 tahun ia sempat menyampaikan pidato di hadapan pemimpin-pemimpin dunia pada ruang sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ia berujar bahwa kami adalah kelompok dari Kanada yang terdiri dari anak-anak berusia 12 dan 13 tahun. Kami ingin mencoba membuat perbedaaan. Kami menggalang dana untuk bisa datang kesini sejauh 6000 mil. Untuk memberitahukan pada anda sekalian orang dewasa bahwa anda harus mengubah cara anda, hari ini, disini juga. Saya menginginkan masa depan bagi diri saya saja.

Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kalah dalam pemilihan umum atau rugi dalam pasar saham. Saya berada disini untuk berbicara bagi semua generasi yang akan datang. Saya berada disini mewakili anak-anak yang kelaparan diseluruh dunia yang tangisannya tidak lagi kalian dengar.

Saya berada disini untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat yang tidak terhitung jumlahnya diseluruh planet ini karena kehilangan habitatnya. Kami tidak boleh tidak di dengar. Saya merasa takut berada dibawah sinar matahari karena berlubangnya lapisan OZON. Saya merasa takut untuk bernafas karena saya tidak tahu ada bahan kimia apa yang dibawa oleh udara.

Saya sering memancing di Vancouver bersama ayah saya hingga beberapa tahun yang lalu kami menemukan bahwa ikan di daerah tersebut kini penuh dengan kangker dan sekarang kami mendengar bahwa binatang-binatang dan tumbuhan satu persatu mengalami kepunahan tiap harinya, hilang selamanya.

Dalam hidup saya, saya memiliki mimpi untuk melihat kumpulan binatang besar, hutan rimba dan hutan hujan tropis yang penuh dengan burung dan kupu-kupu tetapi sekarang saya tidak tahu apakah hal tersebut bahkan masih ada untuk dilihat oleh anak saya nantinya.

Apakah anda sekalian khawatir terhadap masalah kecil ketika anda sekalian masih berusia sama seperti saya? Semua itu terjadi di hadapan kita dan walaupun kita masih tetap bersikap bagaikan kita masih memiliki banyak waktu dan semua pemecahannya.

Saya hanyalah seorang anak kecil dan saya tidak memiliki semua pemecahanya tetapi saya ingin dan sekalian menyadari bahwa anda sekalian juga sama seperti saya. Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang lapisan ozon kita. Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai asalnya.

Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikkan binatang yang telah punah. Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sedia kala di tempatnya yang sekarang hanya berupa padang pasir. Jika anda tidak tahu bagaimana caranya. Tolong berhenti merusaknya.

Disini anda adalah deligasi-deligasi Negara anda. Pengusaha, anggota perhimpunan, politisi dan juga wartawan tetapi sebenarnya anda adalah ayah dan ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, paman dan bibi dan anda semua adalah anak dari seseorang.

Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa kita semua adalah bagian dari sebuah keluarga besar, yang beranggotakan lebih dari 5 miliyar, terdiri dari 30 juta rumpun dan kita semua berbagi udara, air dan tanah di planet yang sama, perbatasan dan pemerintahan tidak mengubah hal tersebut.

Saya hanyalah seorang anak kecil namun begitu saya tahu bahwa kita semua menghadapi permasalahan yang sama dan kita seharusnya bersatu untuk tujuan yang sama. Walaupun marah, namun saya tidak buta, walaupun takut, saya tidak ragu untuk memberitahukan dunia apa yang saya rasakan.

Di Negara saya, kami sangat banyak melakukan penyia-nyiaan, kami membeli sesuatu dan kemudian membuangnya, beli dan kemudian buang. Walaupun begitu tetap saja Negara di utara tidak akan berbagi dengan mereka yang memerlukan. Bahkan ketika kita memiliki lebih dari cukup, kita merasa takut untuk kehilangan sebagian kekayaan kita, kita takut untuk berbagi.

Saya hanyalah seorang anak kecil namun saya tahu bahwa jika semua uang yang habis untuk perang dipakai untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan menemukan jawaban terhadap permasalahan alam, betapa indahnya dunia.

Di sekolah, bahkan di taman kanak-kanak anda mengajarkan kami untuk berbuat baik. Anda mengajarkan pada kami untuk tidak berkelahi dengan orang lain. Mencari jalan keluar, membereskan kekakacuan yang kita timbulkan. Tidak menyakiti mahluk hidup, berbagi dengan tamak.

Lalu mengapa anda kemudian melakukan hal yang anda ajarkan pada kami supaya tidak boleh dilakukan tersebut? Jangan lupakan mengapa anda menghadiri konfrensi ini, anda sekalian yang memutuskan dunia seperti apa yang akan kami tinggali. Orang tua seharusnya dapat memberiakan kenyamanan pada anaka-anak mereka dengan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

Tetapi saya tidak merasa bahwa anda dapat mengatakan hal tersebut kepada kami lagi. Apakah kami bahkan ada dalam daftar prioritas anda semua? Ayah saya selalu mengatakan, kamu akan selalu dikenang karena perbuatanmu bukan oleh kata-kata mu.
Jadi apa yang anda lakukan membuat saya menangis pada malam hari. Kalian orang dewasa mengatakan berkata bahwa kalian menyayangi kami. Saya menantang anda, cobalah untuk mewujudkan kata-kata tersebut.

Apa yang dikatakan oleh Severn Suzuki ternyata telah membungkam satu ruangan sidang konfrensi PBB. Setelah pidatonya selesai, seluruh orang-orang yang hadir diruangan pidato tersebut berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah kepadanya (The Collage Foundation)

Apa yang dapat kita simpulkan dari pidato tersebut? Bahwa lingkungan kini membutuhkan peremajaan dari diri kita untuk mengembalikan seperti sedia kala. Lebih lanjut sebagai renungan kembali salah satu ayat yang ada di Al Qur’an mengatakan bahwa “Telah tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah : Adakanlah perjalanan dimuka bumi dan perlihatkanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS Ar Rum : 41-42)

Untuk itulah meminjam istilah 3 M dari Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym kita bisa menyelamatkan bumi ini, Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil dan mulai dari sekarang adalah salah satu upaya yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan bumi tidak hanya dari lingkungan kampus melainkan juga dari lingkungan terkecil dimana tempat kita berada. Dan terakhir, selamatkanlah bumi kita. Semoga*
posted by Irul Terate at 04.08 0 comments

1 Des 2009

Minah, Anggodo dan Alay

Keadilan adalah hak semua orang. Begitulah pepatah lama yang sering kita dengar dan kita dapatkan sewaktu pelajaran di bangku sekolah dahulu. Namun sepertinya teori memanglah terkadang tidak terlalu sama dengan kenyataan atau prakteknya. Lihat saja contoh kasus yang membuat kita miris. Minah, Anggodo dan Alay.
Ketiganya memanglah tidak saling kenal mengenal. Minah hidup di dusun sidoharjo, kecamatan Ajibarang, Banyumas. Anggodo hidup di kota Metropolitan, Jakarta sedangkan Sugiarto Wiharjo alias Alay hidup di Bumi Sang Ruwa Djurai.
Persamaannya, masing-masing dari ketiganya adalah Warga Negara Indonesia. Mereka masing-masing sama berlindung di bawah payung hukum negeri ini. Namun, meski berlindung di bawah hukum yang sama, nasib mereka sangatlah bertolak belakang. Minah, perempuan enam puluh lima tahun yang tidak bisa berbahasa Indonesia ini harus dijatuhi vonis hukuman 1 bulan 15 hari oleh pengadilan negeri Purwokerto, kamis (19/11) hanya karena terbukti mencuri tiga buah biji kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan 4,pada 2 Agustus silam.
Ketika itu Minah yang sehari-hari menggunkan lahan tersisa di antara pohon-pohon kakao untuk bercocok tanam secara tumpang sari itu memetik tiga buah kakao. Saat mengupas kakao itulah muncul petugas patroli PT Rumpun. Petugas menduga buah itu akan dijual oleh Minah.
“Kalau dijual sekitar Rp 30.000” ujar petugas tersebut ketika di periksa oleh polisi sebagai saksi. Kepada polisi, petugas tersebut melepaskan Minah karena kasihan. Adapun tiga buah kakao dan karung plastik milik Minah ia ambil dan di serahkan ke PT. Ternyata laporan itu berbuntut panjang. PT Rumpun membawa kasus ini ke kepolisian. Akhirnya, 13 Oktober, Minah jadi tersangka serta dikenai status tahanan rumah. Jaksa mendakwa Minah melanggar pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara (Tempo, 23-29 November 2009)
Anggodo Widjojo, pengusaha yang memilik jaringan luas mulai dari aparat hingga pengusaha papan atas adalah pengusaha sukses di Jawa Timur. Namanya menjadi terkenal ketika namanya disebut-sebut dalam kasus penyuapan terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non aktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Ketika itu, seperti rekaman yang telah diperdengarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Anggodo yang merupakan adik dari Direktur Utama PT Masaro, Anggoro Widjojo yang terlibat kasus korupsi pengadaan system komunikasi radio terpadu di departemen kehutanan, mengatur kriminalisasi ketua KPK non aktif bersama lawan bicaranya. Saat percakapan pribadinya itu disadap, dia melaporkannya ke polisi atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan penyadapan melalui media elektronik oleh KPK. Laporan polisi bernomor LP/631/X/2009 tersebut lalu sempat hampir diproses oleh mabes polri dengan memanggil pimpinan media seperti Kompas dan Seputar Indonesia. Sedangkan bagi terdakwa kasus kredit fiktif senilai Rp 735,4 miliar di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tri Panca Setia Dana, Sugiarti Wiharjo alis Alay hidupnya kini memang sudah mendekam di dalam Lapas. Saat ini alay bersama tiga terpidana tindak pidana perbankkan (tipibank) lainnya telah dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan (LP) kelas 1 Rajabasa. Setelah sebelumnya, keempat nara pidana ini menjalani pidana di rumah tahanan (rutan) Wayhuwi, Lampung Selatan. (Radar Lampung, 28/11)
Namun walaupun sudah menghuni “hotel dibalik jeruji besi” tersebut, Alay seakan hanyalah memindah rumahkan tempat tinggalnya sendiri ke dalam lapas. Karena fasilitas yang tidak seperti narapidana lainnya yang harus merasakan memakan nasi basi pun tidak ia dapatkan, bahkan bersama Pudiyino Wiyanto (terdakwa lainnya) beserta empat petugas kejaksaaan dapat menikmati semangkok bakso di Jl. Arief Rahman Hakim, Sukarame, Bandar Lampung pada hari Rabu, (18/11) pukul 18.20 wib. (Radar Lampung, 25/11)
Dari ketiga contoh inilah yang menggabarkan fotret hukum di negeri kita sekarang ini. Minah, Anggodo dan Alay seakan hidup di sebuah negeri yang amat berbeda. Tapi beginilah kondisinya, mungkin saat ini aparat hukum kita sedang sakit. Sakit yang sesungguhnya hanya tak lain disebabkan oleh pulus yang akibatnya rasa dan nurani tersebut menjadi hilang.
Padahal jika kita cermati dalam kasus Minah, apalah arti dari tiga biji kakao. Dimakan tidaklah akan mengenyangkan, dijual tidak berharga dan di buang pun tidak akan sia-sia bahkan bila dijual pun tentunya tidaklah akan membuat nenek buta huruf tersebut menjadi kaya, karena harga dipasaran tiga buah kakao itu tak lah lebih dari Rp 2100,- Seharusnya menurut penulis, kasus ini tidak lah perlu di bawa ke pengadilan. Kasus ini cukuplah sampai dan diselesaikan di tingkat Rukun Tetangga (RT). Tapi seperti itulah hukum di negeri ini, hukum yang lebih tepatnya hukum rimba dimana yang kuat akan menang sedangkan yang lemah akan semakin terhina atau hukum jaring laba-laba yang pernah penulis katakan di dalam opini “cicak dalam jaring laba-laba” yang diterbitkan di harian ini, 9 November kemarin.
Akibatnya mau tak mau orang kecil seperti Minah pun harus merasakan “keadilan” hukum untuk orang-orang kecil seperti dirinya. Sedangkan bagi Anggodo walaupun rekaman tersebut telah diperdengarkan namun belum ada reaksi yang jelas dari pihak kepolisian, bahkan siang Anggodo bisa menjadi tersangka dan malam harinya berubah menjadi saksi (Radar Lampung, 19/11). Itulah hukum dan saktinya Anggodo Widjojo. Bagi peneliti filsafat, Saifur Rohman. Dimata hukum, Anggodo memang tidak lah bersalah karena sampai sekarang ketiadaaan putusan dari kehakiman bagi dirinya. Sedangkan Minah, merupakan pesakitan. Nuansa hidup minah adalah kepahitan hidup karena kemiskinan dan kekurangtahuan. Sedangkan anggodo hidup dalam prosedur formal yang dipenuhi akan tertib pikir dan tindakan. Minah buta huruf, sedangkan Anggodo mengerti dan mengetahui titik dan koma dari setiap Undang-Undang. Hidup bagi Minah adalah bagaimana baginya mencukupi kebutuhannya sehari-hari (Kompas, 25/11) Pertanyaannya kini, dimanakah letak keadilan tersebut? Keadilan yang merupakan hak dasar dari semua orang, hak dari seluruh masyarakat Indonesia. Jika pertanyaan itu muncul tentulah keadilan itu hanya ada untuk pengusaha-pengusaha atau orang-orang yang besar dan mempunyai duit seperti Anggodo Widjojo dan Sugiarto Wiharjo. Wallahu’alam Bishawabi

posted by Irul Terate at 05.23 0 comments

30 Nov 2009

PENGORBANAN DAN KEBENARAN

Sesuai dengan ketetapan pemerintah, bahwa 1 dzulhijjah 1430 Hijriah itu jatuh pada hari Rabu (18/11) maka, umat muslim kemarin, Jum’at (27/11) merayakan hari raya Idul Adha bersama-sama.
Sehari sebelumnya, 9 dzulhijjah, jutaan umat muslim di penjuru dunia yang menunaikan Ibadah Haji wukuf di Padang Arafah. Berkumpul disana dengan memakai pakaian ihram sebagai perlambang kesetaraan derajat manusia di sisi Allah SWT.

Meski tidak semeriah di hari raya Idul Fitri, Idul Adha cukup disambut penduduk muslim terutama para mustahik (dhuafa) dengan suka cita. Karena seperti yang kita ketahui bahwa Idul Adha itu juga identik dengan hari raya qurban. Maka di hari ini para kaum dhuafah bisa merasakan lezatnya daging kurban.

Seperti ibadah sholat yang merupakan ritual. Dimana kita diperintahkan untuk berdiri dan menghadap kearah kiblat. Maka kurban pun demikian. Ritualnya adalah berupa melakukan penyembelihan. Yakni dengan memotong leher kambing, sapi atau kerbau hingga urat lehernya terputus dan mati.

Adapun urusan membagikan daging hewan kurban tersebut kepada yang membutuhkan adalah diluar ritual tersebut. Karena di masa lalu, manhar atau tempat penyembelihan hewan di Mina, tubuh kambing yang telah disembelih dibuang begitu saja. Tidak ada yang mengurusinya. Toh bagi mereka yang melakukannya, ritualnya sudah tercapai. (Swadaya DPU-DT)

Namun pertanyaannya kini, apakah ibadah kurban kali ini kita hanya sebatas mengejar tercapainya ritual belaka? Bagi penulis tentunya, hal itu sangatlah terlalu disayangkan jika kita hanya memperoleh ritualnya belaka.

Jika kita merenungi sejarah, peringatan hari ini tentunya tidak lah terlepas bisa kita lepaskan dari peristiwa bersejarah ribuan tahun silam yaitu ketika nabi Ibrahim as, dengan penuh keyakinan, ketaqwaan, memenuhi perintah Allah untuk menyembelih anak yang dicintainya, Ismail as. Namun, atas kekuasaan Allah, secara tiba-tiba yang disembelih Ibrahim telah berganti menjadi seekor kibas (sejenis domba). Peristiwa itulah yang kini menjadi simbol bagi umat muslim di dunia sebagai wujud ketaqwaannya untuk menjalankan perintah Allah SWT.

Bayangkan, betapa beratnya cobaan yang dialami Ibrahim sewaktu itu. Beliau harus menyembelih anak semata wayangnya. Namun dengan asas iman, ikhlas, tulus dan patuh pada perintah Allah maka Ia Ibrahim pun melakukan itu.

Di dalam buku Al Hajj, Dr. Ali Syariati menyatakan bahwa Ismail sebenarnya adalah sekedar simbol belaka. Simbol dari segala yang dimiliki dan dicintai dalam hidup ini. Kalau Ismailnya Ibrahim as adalah putranya sendiri, lantas siapakah Ismail kita?
Beliau menyatakan bahwa “Ismail” di diri kita ini bisa saja diri kita sendiri, keluarga kita, anak dan istri kita, harta, pangkat atau jabatan kita. Yang jelas seluruh yang kita miliki bisa menjadi Ismail kita yang karenanya akan diuji dengan itu.

Kecintaan kepada Ismail inilah yang terkadang membuat hati dan iman kita menjadi goyah. Kecintaan kepada Ismail yang berlebihan juga akan membuat kita menjadi egois, mementingkan diri sendiri, serakah dan lain-lain.

Untuk itulah kita seharusnya mampu mengorbankan “Ismail” tersebut untuk Allah. Prilaku pejabat di negeri ini dalam urusan korupsi, sehingga mengantarkan negeri ini ke urutan ke 111 dari 180 negara dengan skor 2,8 dari hasil survey Transparancy International adalah contoh kecil dari kecintaaan sebagian pejabat kita terhadap “Ismail” tersebut. Dan sebenarnya pelajaran berharga dari pemotongan kurban itu ialah penyembelihan sifat-sifat hewani yang ada pada diri kita, sifat-sifat kecintaan kita kepada “Ismail” yang kita punyai.

Ada pepatah yang sering kita dengar bahwa hidup adalah sebuah perjuangan dan setiap perjuangan memerlukan sebuah pengorbanan. Tidak ada pengorbanan tanpa kesusahan.
Peristiwa berkurbannya Nabi Ibrahim dan Ismail sebenarnya merupakan nokhtah kejadian yang harus diteladani oleh setiap level usia dan tingkat pendidikan. Dengan kata lain, semangat berkorban adalah tuntutan paling besar yang ada di diri kita, lingkungan, masyarakat, agama, bangsa dan bernegara.

Dalam berbagai konteks sejarah, dimana umat Islam menghadapi berbagai cobaan, makna pengorbanan sangatlah jelas amat luas dan mendalam. Rasulullah SAW dan para sahabat yang menegakkan Islam di muka bumi ini merupakan sebuah perjuangan dan tentunya disertai akan pengorbanan.

Rasulullah misalnya pernah dilempari batu bahkan kotoran oleh penduduk Thaif, dianiaya oleh Ibnu Muith, Abu Jahal dan Abu Lahap yang memperlakukan beliau dengan kasar dan sangat kejam. Para sahabat seperti Bilal harus mengorbankan dirinya dengan ditindih batu besar ditengah panas sengatan matahari.

Tak hanya itu, umat muslim di Mekkah pun ketika itu juga dibokot untuk tidak mengadakan transaksi dagang sehingga membuat lapar dan menderita keluarga Rasulullah ketika diboikot oleh kafir Quraisy.

Nabi Yusuf as yang disiksa dan dibuang kesumur tua, Nabi Syu’aib yang harus di usir dari kotanya dan Nabi Musa as yang mengalami tekanan Firaun dll merupakan pengorbanan dalam menegakkan kebenaran.

Dalam sejarah perjuangan bangsa kita para pahlawan mengorbankan jiwa dan raga, harta dan benda untuk kemerdekaan bangsanya. Jendral sudirman harus keluar masuk hutan untuk memimpin tentara nasional Indonesia untuk melawan para penjajah. Sikap para tokoh bangsa yang dipenjara, dibuang, dan disiksa adalah wujud dari keyakinan mereka akan kebenaran. Tentu saja mereka berkorban atas dasar sikap yang percaya sebagai sebuah kebenaran.

Dan kini di dalam konteks kekinian, pengorbanan umat Islam di berbagai belahan dunia terlihat nyata di Palestine. Dengan sikap dan keyakinan dan sangat tinggi demi berkibarnya bendera Islam disana mereka harus terus melawan dan mengalami penyiksaan, penganiayaan bahkan blokade di jalur Gaza oleh Israel laknatullah.
Pertanyaanya mampukah kita melakukan pengorbanan seperti apa yang telah mereka korbankan danmampukah kita menjadikan hidup sebagai perjuangan dan pengorbanan terutama berkorban dari “Ismail-Ismail” yang kita miliki?
posted by Irul Terate at 21.11 0 comments

SENSASIONAL KIAMAT 2012

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidan pernah mengatakan bahwa tidak mau mengomentari perihal kontroversi kiamat yang di gembar-gemborkan film 2012. Sebab menurutnya, di tengah kontroversi tersebut pembuat film itu justru akan menikmati keuntungannya karena masyarakat akan penasaran dan akibatnya berbondong-bondong menonton film tersebut.

Sepertinya apa yang dikatakan ketua MUI tersebut ada benarnya. Kontroversi tersebut setidaknya telah membuat penulis penasaran sehingga mendorong hati penulis untuk mengetahui bagaimana film itu sebenarnya.

Setelah mengamati dan menyaksikan sendiri film tersebut, penulis berkesimpulan bahwa film tersebut tidaklah lebih seperti film-film kebanyakan yang menggambarkan bencana-bencana yang menghancurkan suatu daerah. Selain itu juga, film itu ternyata bukanlah “akhir” dari dunia ini karena di akhir cerita masih digambarkan manusia yang selamat dari “kiamat” tersebut. Lantas mengapa harus ada rumor film yang memakan biaya produksi mencapai 200 juta dolar ini menggambarkan tentang kiamat?

Memang usut punya usut, film yang dibintangi oleh John Cusack, Amanda Peet, Danny Glover, Oliver Platt, dan Woody Harelson ini dibuat berdasarkan oleh ramalan suku maya. Dimana dikisahkan di film tersebut warga menjadi panik saat ramalan suku Indian Maya mengenai kiamat tersebut menjadi kenyataan.

Suku maya adalah suku yang tinggal di selatan Meksiko atau Guatemala yang menguasai ilmu perbintangan (falak). Suku ini dikenal sangat detil memperhatikan dan menghitung bintang-bintang dan benda langit lainnya. Para Arkeolog mempercayai suku maya mempunyai peradaban yang sangat luar biasa, ini bisa dilihat dari peninggalannya seperti buku, meja batu dan cerita yang bersifat mistik.

Kemudian pada system penanggalan kalendernya bangsa tersebut, mereka suku Maya menyatakan bahwa pada tahun 2012 tepatnya 21 Desember 2012 merupakan “End Of Times”. Namun pengertian dari end of times itu sendiri masihlah menjadi perdebatan para ilmuwan dan arkeolog hingga kini.

Menurut penulis kesempatan ini lah yang dimanfaatkan oleh Harold Kloser penulis naskah dan Roland Emmerich sang sutradara untuk memvisualisasikan ramalan dari suku maya ini. Kehancuran-kehancuran bumi sedemikian rupa di visualisasikan sutradara ini. Selain itu, symbol-simbol agama pun tak luput dari visualisasi “kehancuran”.

Patung kristus sang penubus yang berdiri kokoh di Rio de Janeiro, Brasil, hancur berkeping-keping. Hujan meteor berbola api disusul gempa mengguncang hebat. Yang tak kalah fantastiknya, basilica gereja santo petrus di Vatikan runtuh. Bahkan kapal perang USS John F Kennedy tak berdaya diamuk badai dan akhirnya karam.

Namun benarkah ramalan tersebut? Hingga saat ini ramalan tentang kiamat 2012 terus mem-boming di khalayak ramai. Media pun tak pernah lepas dari penyuguhan informasi mengenai kiamat tersebut. Bahkan sekarang, buku yang mengulas tentang itu pun menjadi laris manis di baca banyak orang.

Buku Apocalypse 2012 (Lawrence E.Joseph: 2007) yang menyibak tabir hari kiamat di tahun 2012 misalnya. Buku ini pun juga tak lepas dari ramalan Suku Maya. Isinya, bencana maha dahsyat sekaligus kejadian diluar nalar manusia tetap akan terjadi pada tahun 2012.

Disana penulisnya memaparkan beberapa bencana seperti siklus aktivitas matahari yang memuncak di tahun 2012 yang menyebabkan panas yang luar biasa di bumi, terlebih atmosfer kita sudah mengalami penipisan dan bolong di beberapa bagian sehingga selain memanaskan bumi dengan radikal juga melelehkan es di kutub dan juga menimbulkan badai serta topan yang dahsyat.

Lantas, mungkinkah ramalan (kalender) itu menjadi ancaman bagi masyarakat untuk mempercayai bahwa kiamat terjadi di tahun 2012? Bagaimana dengan kalender orang Indonesia? Apakah ada kesamaan?

Secara ilmu pengetahuan badan luar angkasa Amerika Serikat, NASA pernah menegaskan bahwa kiamat akan terjadi pada 21 Desember 2012 tidaklah berdasar. NASA mengatakan jika memang benar akan terjadi tabrakan bumi karena adanya planet x atau yang disebut nibiru menurut suku maya sangatlah tidak mungkin. Itu hanyalah bualan belaka. Tidak ada dasar factual yang menjelaskan bahwa ada planet misterius yang mengancam bumi, jika memang ada para astronom sejak satu dasawarsa lalu telah melihat ada planet yang mendekati bumi.

NASA mengkalim para ilmuwan di seluruh dunia yang meneliti angkasa luar tidak melihat adanya ancaman yang sangat besar yang akan terjadi pada bumi di tahun 2012 (Republika online)

Sedangkan sebagai mahluk yang beragama dan sebagai mahluk yang diciptakan disertai akal dan pikiran tentunya kita bisa berfikir dan merenungkan hal itu. Memang hampir seluruh agama percaya akan terjadinya kiamat. Namun, anggapan di semua agama, kiamat itu adalah akhir dari segala yang telah diciptakan Tuhan Yang Maha Esa. Namun meski percaya demikian, tidak satupun agama, sains atau pun ilmu pengetahuan manusia yang mampu mengungkapkan secara pasti kapan kiamat sebenarnya terjadi.

Seorang penulis Yahudi Rebbetzia Esther Jungeris, misalnya pernah mengatakan bahwa dalam kitab suci Yahudi sendiri pun tidak pernah disebutkan kapan akan datangnya kiamat. Akan datang pada Jum’at siang, namun tidak ada cara untuk mengetahui kapan akan datang shabbos (hari Jum’at) itu, ungkapnya.

Lebih lanjut agama yang di ridhoi Allah, Islam pun mengatakan demikian. Di Islam percaya pada hari kiamat adalah salah satu rukun iman yang ke lima. Namun ilmu kita tentunya tidak akan pernah sampai untuk meramalkan kapan kepastian terjadinya kiamat itu. “Yang dekat (hari kiamat) telah makin mendekat. Tidak ada yang akan dapat mengungkapkan (terjadinya hari itu) selain Allah” begitu firmannya dalam Qur’an surat An-Najm 57-58.

Selain itu dari Hudzaifah bin Usaid Al-Ghifari ra berkata, Rasulullah SAW bersabda,” kiamat tidak akan terjadi sebelum engkau melihat 10 tanda kiamat. “Kemudian Rasulullah mengatakan ; Dukhan (kabut asap), Dajjal, Binatang pandai bicara, matahari yang terbit dari barat, turunya Isa as, Ya’juj Ma’juj dan tiga gerhana, gerhana di timur, barat dan jazirah arab dan terakhir api yang keluar di Yaman mengantarkan manusia ke Mashsyar (HR. Muslim)

Hematnya apa yang dipaparkan Qur’an dan Al Hadist, patutlah dijadikan pedoman serta rujukan bahwa kiamat bukanlah persoalan kita manusia melainkan urusan Allah. Untuk itu jangan terpancing emosi akan apa yang di gambarkan 2012 yang hanya merupakan visualisasi dan didukung dengan teknologi yang dahsyat buatan manusia semata. Wallahu’alam Bishawab i
posted by Irul Terate at 21.02 0 comments