Belajar, Ajarkan dan Amalkan

22 Jul 2009

MBAH SURIP DAN CAPRES TERPILIH

(Sudah diterbitkan di opini Koran Lampung, 21 Juli dan Lampung Ekpres Plus 22 Juli 2009)

TAK….gendong…kemana-mana....tak….gendong…kemana-mana….enak tau…hahaha” Siapa yang tidak mengenal petikan lagu tersebut. Dari orang tua, remaja bahkan anak-anak mengenal lagu ini karna memang sejak bulan Mei 2009 lagu ‘tak gendong’ dari Mbah Surip ini mampu menerobos blantika musik tanah air dan mampu mengalahkan lagu-lagu kebanyakan yang bertemakan cinta yang selalu dikumandakan oleh band-band anak baru gede (ABG). Bahkan, tidak hanya itu Ring Back Tone (RBT)- nya pun menjadi andalan tersendiri sehingga Mbah Surip kini mampu “menggendong” (baca, meraup) uang hingga Rp 9 Miliar dan mendapatkan royalty sekitar Rp 4,5 Miliar.

Kehidupannya pun kini tak lagi bisa bebas “menggelandang” karna kini semuanya terbentur akan jadwal promo dan show (pertunjukan) yang sangat padat. Pada 7 Juli lalu, misalnya, Mbah Surip tampil di TVRI Jakarta, kemudian Sabtunya mesti mengisi acara di salah satu stasiun televisi swasta, siangnya terbang ke Bali untuk pertunjukan di sebuah kafe. Minggunya, ia menyanyi di panggung Depsos di Monas, lalu siangnya ke kebun buah Mekar Sari (Kompas, 12/7) dan berbagai tempat lainnya.

Seniman jalanan yang lahir pada 5 Mei 1949 ini kini menjadi perhatian tersendiri di Negara kita. Tampil apa adanya di depan public dengan gaya “kebesarannya” seperti rambut gimbal serta topi, baju dan celana berwarna merah bendera Jamaika ini selalu mengacu pada gaya pemusik reggae, Bob Marley. Dan kini ia telah mampu menyedot perhatian jutaan pecinta musik di tanah air sehingga menjadi fenomena tersendiri di Indonesia.

Fenomena ramai akan Mbah Surip ini menurut penilaian penulis sendiri sama ramainya seperti halnya fenomena dari politik praktis, terutama yang berkaitan dengan fenomena sosok presiden terpilih untuk kali keduanya ini, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Walaupun belum ada ketetapan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun kita semua kini bisa memprediksikan SBY-Boediono-lah yang akan memenangkan pertarungan ini karena, dari lembag-lembaga survei seperti LSI, LP3ES, Puskaptis, LRI, Metro Tv dll yang mengadakan penghitungan cepat atau quick qount, SBY-Boediono menduduki urutan teratas dengan perolehan suara mencapai 60 % suara disusul dengan Mega-Prabowo di urutan kedua yang hanya mampu mengumpulkan lebih dari 25 % suara. Sedangkan untuk calon presiden yang diusung oleh partai besar Golkar dan Hanura, Mohammad Jusuf Kalla hanya mampu menduduki peringkat buncit, dengan suara tak kurang dai 15 %.

Hasil penghitungan cepat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei independen ini keberadaannya hampir mirip dengan perolehan sementara dari penghitungann yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain itu, hampir setiap lembaga survey memprediksikan hasil yang sama; dan biasanya menurut pengamatan dari penulis baik dari hasil penghitungan cepat pada pemilihan presiden 2004 maupun pemilihan anggota legislatif pada 9 April lalu, hasil penghitungan cepatnya atau quick qount ini tidaklah jauh berbeda dari hasil resmi yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, sebagai pihak yang berhak atas penerbitan hasil resmi dari proses pemilihan. Karena memang marging of erro atau kisaran kesalahan dari lembaga tersebut sangatlah kecil sekali sekitar satu persen.

Sehingga, wajar saja jika kubu Yudhoyono sebagai pihak yang “diuntungkan” menganggap penghitungan ini ialah validasi awal atas kemenangan mereka. Sedangkan dari dua kubu yang kalah tentunya menyikapi penghitungan ini dengan berbeda. Prabowo misalnya menuduh penghitungan cepat ini “ngawur” dan “dibuat seolah untuk menyesatkan rakyat Indonesia”. Sedangkan calon presiden yang juga wakil presiden Jusuf Kalla ini menyikapi dengan agak kalem, dengan menyatakan menghormati proses hasil dari penghitungan cepat ini namun tetap akan menunggu hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Begitu juga dengan ucapan selamat dari politikus luar seperti Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak, Perdana Menteri Australia Kevin Rudd, Presiden Timor Leste Ramos Horta, dan Presiden Fillipina Gloria Macapagal-Arroyo dan yang memberikan ucapan selamat ke tujuh yaitu Presiden Palestina Mahmud Abbas kepada Yudhoyono yang disambut ucapan terima kasih dari SBY ke Mahmud Abbas dengan mengatakan “Thank you for calling me. Thanks for congratulating meadalah sebuah pandangan yang beragam dari para elite politik dalam menyikapi fenomena kemenangan SBY dari hasil penghitungan cepat ini.

Pergesaran Pilihan

Fenomena kemenangan dari penghitungan cepat ini di dalam pemilihan presiden 2009 kali ini menegaskan akan adanya pergeseran prefensi dan orientasi rakyat dalam memilih. Jika di pemilihan umum pertama pada tahun 1955, misalnya, pemilihan presiden itu cenderung kepada politik aliran, Namun, pasca reformasi 1998 dengan munculnya partai-partai baru yang mengusung perubahan dan reformasi ini termasuk Demokrat sendiri menandakan adanya kesan politik figur yang bermain didalamnya. Artinya pemilihan konstituen ini tidaklah berdasarkan lagi pada ideologi partai (ideologis) namun lebih pada penekanan kepada penokohan. Dan hal ini terjadi pada pemilihan presiden di tahun 2004 dan 2009 ini.

Selain itu, proses pencitraan SBY yang dilakukan oleh konsultan politiknya, Zulkarnain Mallarangeng dan kawan-kawannya disinyalir juga ikut berperan terutama berkaitan dengan klaim-klaim keberhasilan seperti penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sampai tiga kali berturut-turut, keberhasilan swasembada beras dari salah satu kader terbaik PK Sejahtera, Anton Ampriantono sebagai salah satu pendukung atau mitra koalisi dari Partai Demokrat, ataupun Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau program PNPM Mandiri yang digalakkan.

Adanya gerakan satu putaran yang menjadi ikon Pilpres 2009 yang dilakukan oleh Denny J.A yang telah mendapatkan penghargaan oleh PWI Jaya (Persatuan Wartawan Indonesia), karena gerakan satu putaran yang dianggap telah mengambil resiko besar juga mampu mengangkat pencintraan SBY disamping klaim-klaim tersebut.

Walaupun klaim-klaim keberhasilan ini sering mendapatkan serangan dari kubu lawan untuk merosotkan citra sosok incumbent ini, namun semuanya rakyatlah yang berbicara dan menilai akhirnya. Memang pada dasarnya tidaklah semua rakyat melihat ini semua sebagai suatu keberhasilan.

Seperti surat pembaca yang dilayangkan oleh salah satu sastrawan Lampung pada salah satu harian yang ada di Lampung pada edisi (13/7) yang berjudul “Maaf, saya tidak pilih SBY” yang menurut penulis itu menjadi salah satu contoh suara dari anak bangsa akan ketidakpuasan kepemimpinan Yudhoyono dalam memimpin negeri ini. Sehingga ia ialah termasuk salah satu pemilih yang tidak mencontreng capres nomor urut dua tersebut.

Hal ini menurut penulis ialah sah dan wajar-wajar saja dilakukan, sama hal nya seperti ketika masyarakat lain mungkin ada yang kurang menyukai lagu tak gendong dari Mbah Surip. Dan menganggap lagu ini dinilai telah menurunkan kualitas dari musik di Tanah air Indonesia ini sah-sah saja dilakukan karna memang setiap manusia mempunyai penilaian-penilaian tersendiri.

Namun sekali lagi rakyatlah yang akhirnya menentukan dan memberikan penilaian. Dengan tercapainya suara rakyat sebesar 60 % menurut hemat penulis sangatlah bisa menandakan bahwa rakyat masih ingin memberikan kesempatan kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk terus dapat bekerja dan “menggendong” semua partai dan pihak-pihak yang berkompenten untuk dapat mewujudkan Negara Indonesia yang sejahtera sampai tahun 2014 yang dalam artian untuk bisa me-“lanjutkan” kepemimpinannya seperti dalam slogannya sampai semua janji-janjinya bisa terrealisasi dengan segeranya, bukan semata-mata hanya menjadi sekadar rolling kekuasaan dan power sharing jilid berikutnya sehingga dapat mewujudkan ide dan gagasan cerdas dari Founding Fathers Soekarno dan Hatta.SEMOGA*

posted by Irul Terate at 02.41

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home