Belajar, Ajarkan dan Amalkan

30 Nov 2009

PENGORBANAN DAN KEBENARAN

Sesuai dengan ketetapan pemerintah, bahwa 1 dzulhijjah 1430 Hijriah itu jatuh pada hari Rabu (18/11) maka, umat muslim kemarin, Jum’at (27/11) merayakan hari raya Idul Adha bersama-sama.
Sehari sebelumnya, 9 dzulhijjah, jutaan umat muslim di penjuru dunia yang menunaikan Ibadah Haji wukuf di Padang Arafah. Berkumpul disana dengan memakai pakaian ihram sebagai perlambang kesetaraan derajat manusia di sisi Allah SWT.

Meski tidak semeriah di hari raya Idul Fitri, Idul Adha cukup disambut penduduk muslim terutama para mustahik (dhuafa) dengan suka cita. Karena seperti yang kita ketahui bahwa Idul Adha itu juga identik dengan hari raya qurban. Maka di hari ini para kaum dhuafah bisa merasakan lezatnya daging kurban.

Seperti ibadah sholat yang merupakan ritual. Dimana kita diperintahkan untuk berdiri dan menghadap kearah kiblat. Maka kurban pun demikian. Ritualnya adalah berupa melakukan penyembelihan. Yakni dengan memotong leher kambing, sapi atau kerbau hingga urat lehernya terputus dan mati.

Adapun urusan membagikan daging hewan kurban tersebut kepada yang membutuhkan adalah diluar ritual tersebut. Karena di masa lalu, manhar atau tempat penyembelihan hewan di Mina, tubuh kambing yang telah disembelih dibuang begitu saja. Tidak ada yang mengurusinya. Toh bagi mereka yang melakukannya, ritualnya sudah tercapai. (Swadaya DPU-DT)

Namun pertanyaannya kini, apakah ibadah kurban kali ini kita hanya sebatas mengejar tercapainya ritual belaka? Bagi penulis tentunya, hal itu sangatlah terlalu disayangkan jika kita hanya memperoleh ritualnya belaka.

Jika kita merenungi sejarah, peringatan hari ini tentunya tidak lah terlepas bisa kita lepaskan dari peristiwa bersejarah ribuan tahun silam yaitu ketika nabi Ibrahim as, dengan penuh keyakinan, ketaqwaan, memenuhi perintah Allah untuk menyembelih anak yang dicintainya, Ismail as. Namun, atas kekuasaan Allah, secara tiba-tiba yang disembelih Ibrahim telah berganti menjadi seekor kibas (sejenis domba). Peristiwa itulah yang kini menjadi simbol bagi umat muslim di dunia sebagai wujud ketaqwaannya untuk menjalankan perintah Allah SWT.

Bayangkan, betapa beratnya cobaan yang dialami Ibrahim sewaktu itu. Beliau harus menyembelih anak semata wayangnya. Namun dengan asas iman, ikhlas, tulus dan patuh pada perintah Allah maka Ia Ibrahim pun melakukan itu.

Di dalam buku Al Hajj, Dr. Ali Syariati menyatakan bahwa Ismail sebenarnya adalah sekedar simbol belaka. Simbol dari segala yang dimiliki dan dicintai dalam hidup ini. Kalau Ismailnya Ibrahim as adalah putranya sendiri, lantas siapakah Ismail kita?
Beliau menyatakan bahwa “Ismail” di diri kita ini bisa saja diri kita sendiri, keluarga kita, anak dan istri kita, harta, pangkat atau jabatan kita. Yang jelas seluruh yang kita miliki bisa menjadi Ismail kita yang karenanya akan diuji dengan itu.

Kecintaan kepada Ismail inilah yang terkadang membuat hati dan iman kita menjadi goyah. Kecintaan kepada Ismail yang berlebihan juga akan membuat kita menjadi egois, mementingkan diri sendiri, serakah dan lain-lain.

Untuk itulah kita seharusnya mampu mengorbankan “Ismail” tersebut untuk Allah. Prilaku pejabat di negeri ini dalam urusan korupsi, sehingga mengantarkan negeri ini ke urutan ke 111 dari 180 negara dengan skor 2,8 dari hasil survey Transparancy International adalah contoh kecil dari kecintaaan sebagian pejabat kita terhadap “Ismail” tersebut. Dan sebenarnya pelajaran berharga dari pemotongan kurban itu ialah penyembelihan sifat-sifat hewani yang ada pada diri kita, sifat-sifat kecintaan kita kepada “Ismail” yang kita punyai.

Ada pepatah yang sering kita dengar bahwa hidup adalah sebuah perjuangan dan setiap perjuangan memerlukan sebuah pengorbanan. Tidak ada pengorbanan tanpa kesusahan.
Peristiwa berkurbannya Nabi Ibrahim dan Ismail sebenarnya merupakan nokhtah kejadian yang harus diteladani oleh setiap level usia dan tingkat pendidikan. Dengan kata lain, semangat berkorban adalah tuntutan paling besar yang ada di diri kita, lingkungan, masyarakat, agama, bangsa dan bernegara.

Dalam berbagai konteks sejarah, dimana umat Islam menghadapi berbagai cobaan, makna pengorbanan sangatlah jelas amat luas dan mendalam. Rasulullah SAW dan para sahabat yang menegakkan Islam di muka bumi ini merupakan sebuah perjuangan dan tentunya disertai akan pengorbanan.

Rasulullah misalnya pernah dilempari batu bahkan kotoran oleh penduduk Thaif, dianiaya oleh Ibnu Muith, Abu Jahal dan Abu Lahap yang memperlakukan beliau dengan kasar dan sangat kejam. Para sahabat seperti Bilal harus mengorbankan dirinya dengan ditindih batu besar ditengah panas sengatan matahari.

Tak hanya itu, umat muslim di Mekkah pun ketika itu juga dibokot untuk tidak mengadakan transaksi dagang sehingga membuat lapar dan menderita keluarga Rasulullah ketika diboikot oleh kafir Quraisy.

Nabi Yusuf as yang disiksa dan dibuang kesumur tua, Nabi Syu’aib yang harus di usir dari kotanya dan Nabi Musa as yang mengalami tekanan Firaun dll merupakan pengorbanan dalam menegakkan kebenaran.

Dalam sejarah perjuangan bangsa kita para pahlawan mengorbankan jiwa dan raga, harta dan benda untuk kemerdekaan bangsanya. Jendral sudirman harus keluar masuk hutan untuk memimpin tentara nasional Indonesia untuk melawan para penjajah. Sikap para tokoh bangsa yang dipenjara, dibuang, dan disiksa adalah wujud dari keyakinan mereka akan kebenaran. Tentu saja mereka berkorban atas dasar sikap yang percaya sebagai sebuah kebenaran.

Dan kini di dalam konteks kekinian, pengorbanan umat Islam di berbagai belahan dunia terlihat nyata di Palestine. Dengan sikap dan keyakinan dan sangat tinggi demi berkibarnya bendera Islam disana mereka harus terus melawan dan mengalami penyiksaan, penganiayaan bahkan blokade di jalur Gaza oleh Israel laknatullah.
Pertanyaanya mampukah kita melakukan pengorbanan seperti apa yang telah mereka korbankan danmampukah kita menjadikan hidup sebagai perjuangan dan pengorbanan terutama berkorban dari “Ismail-Ismail” yang kita miliki?
posted by Irul Terate at 21.11

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home