Belajar, Ajarkan dan Amalkan

16 Agu 2009

KEMISKINAN DI USIA KE-64 TAHUN

(Diterbitkan di Bangka Pos, 15 Agustus, Trans Lampung 18 Agustus 2009)

LEBIH dari setengah abad sudah Negara kita Indonesia telah mengenyam kemerdekaan. Tepat 17 Agustus 2009 nanti, usia itu memasuki usia yang ke 64 tahun. Usia yang menurut kaca mata penulis tidaklah cukup muda lagi untuk bangkit, untuk menyelesaikan semua permasalahan-permasalahan kebangsaan. Salah satu permasalahan yang ada yang tak kunjung usai di Negara kita ini ialah mengenai kemiskinan.

Persoalan kemiskinan pada masyarakat kita kini masihlah menjadi isu yang penting sekali untuk dibahas. Walau berbagai program pemerintah terus dilakukan dan digalakkan sejalan dengan iklim kemerdekaan, tetapi sampai saat ini kemiskinan di Negara kita ternyata masihlah belum beranjak dari bumi pertiwi ini.

Di era pemerintahan presiden Soeharto misalnya program pengentasan kemiskinan ini ditempuh dengan mewajibkan kepada semua para pengusaha untuk menyumbangkan sekitar 2 persen dari keuntungannya (setelah dipotong pajak) mereka bagi dana khusus pengentasan kemiskinan yang ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dari program itu terkumpul dana sebesar Rp 400 Miliar dan itu digunakan untuk program bantuan tanpa bunga atau bunga ringan untuk kaum miskin.

Sedangkan pada pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) upaya pengentasan kemiskinan dilakukan dengan program bantuan beras bagi masyarakat miskin (Raskin), surat kesehatan bagi orang miskin, Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan lain-lain yang disebut-sebut di periode kepemimpinan selanjutnya program ini tidak akan di galakkan lagi.

Pada dasarnya di setiap Negara terutama Negara ketiga, kemiskinan masihlah menjadi hal penting yang harus segera diselesaikan karena dampaknya yang begitu besar bagi kondisi sosial di Negara tersebut. Bagi Indonesia, kemiskinan bagai penyakit “sosial” yang tak kunjung sembuh karena belum ada obatnya sampai saat ini. Walaupun secara nominal angka alokasi anggaran untuk program pengentasan kemiskinan selalu meningkat dari Rp 24 triliun pada tahun 2005, Rp 42 triliun pada tahun 2006, Rp 51 triliun pada tahun 2007 dan 65 triliun pada tahun 2008. Namun kemiskinan masihlah menjadi pemandangan umum di berbagai daerah di Indonesia.

Di Provinsi Lampung sendiri jika kita mengacu kepada perkataan dari Gubernur Lampung, Sjachrodin ZP, Selasa (11/8), jawabannya jelas. Angka statistik yang direntangkan Gubernur pada tahun 2006, jumlah penduduk miskin 1.673.921 orang atau sekitar 22,62 persen dari total penduduk Lampung. Tahun 2007 sekitar 22,19 % dan 2008 sekitar 21 % dari jumlah keseluruhan penduduk di provinsi lampung.

Sedangkan secara keseluruhan pemerintah melalui Biro Pusat Statistik (BPS) dengan penentuan standar kebutuhan minimum yang dibedakan atas makanan dan non-makanan menyebutkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia sebesar 15 % dari jumlah seluruh penduduk Indonesia.

Kebutuhan makanan oleh BPS diperhitungkan berdasarkan kemampuan untuk mengkonsumsi 2.100 kalori per hari. Sedangkan kebutuhan non-materi makanan mencakup sejumlah komoditi seperti sandang, pendidikan dan kesehatan. Sementara itu data dari Bank Dunia menyebutkan bahwa 49 % penduduk Indonesia masuk kategori masyarakat miskin. Perbedaan data mengenai penduduk miskin di Indonesia ini wajar terjadi karena pada dasarnya kemiskinan kini dipahami dalam berbagai cara.

Komite penanggulangan kemiskinan (2002) mengemukakan bahwa masyarakat miskin secara umum ditandai dengan keberdayaan atau ketidakmampuan dalam hal : (1) memenuhi kebutuhan dasar pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic needs), (2) melakukan kegiatan produktif (unproductivensis), (3) menjangkau akses sosial dan ekonomi (inaccessibility), (4) menentukan nasibnya sendiri dan mendapatkan perlakuan diskriminatif, mempunyai rasa ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik (vulnerability), dan (5) Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor)

Namun pemahaman utamanya mengenai kemiskinan ialah mencakup gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi.

Belajar Dari Cina dan India.

Jeffrey Winters, associate professor of political economy pada Northwestern University dalam hasil dialog yang disarikan majalah warta ekonomi mengatakan bahwa angka pertumbuhan 7 % menjadi semacam target suci dan yang terus menurus diperbincangkan. Muncul mentalitas kalau pertumbuhan 7 % itu sudah hebat.

Menurutnya, ada dua elemen dalam mentalitas 7 % yang sudah memiliki akar dalam sekali di Indonesia. Pertama, adalah apabila tercapai 7 %, masa depan Indonesia akan cerah. Kedua, Indonesia hanya mampu tumbuh 7 %. Dari sini nampak bahwa dampak dari mentalitas 7 % cukup besar. Oleh karena itu dalam dialog Kadin, Jakarta, 20 Mei 2009, SBY dalam janjinya mengatakan akan membawa Indonesia ke dalam pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen pada akhir 2014 sehingga diperkirakan mampu mengurangi kemiskinan menjadi 8-10 persen nantinya. Dapatkah Yudhoyono mewujudkan itu semua? Mudah-mudahan saja dan tentunya kita semua berharap akan hal itu sehingga Negara kita dapat menekan angka kemiskinan seperti China dan India.

Di China mengurangi populasi kemiskinan pada tahun 1976 berjumlah 250 juta orang berkurang sampai 23 juta orang pada tahun 2005. Bagaimana China dapat melakukan itu semua? Ada empat hal yang dilakukan mereka semua, pertama, China khususnya pemerintahnya membimbing warganya dalam berbagai bidang dan menyusun kebijakan yang tegas. Kedua, meningkatkan partisipasi masyarakat China. Ketiga, meningkatkan kemandirian untuk membangun dan berupaya sendiri dalam pengentasan kemiskinan bagi pribadi masyarakatnya. Dan keempat ialah ekplorasi pengentasan kemiskinan. Keempat tahapan inilah yang dilakukan China dalam mengentaskan angka kemiskinan.

Sedangkan India berhasil menekan angka kemiskinannya dari 40 % pada 1990 an menjadi 26 % pada awal abad ke-21 dan ditargetkan pada 2015 tidak ada lagi penduduknya yang diketegorikan sebagai penduduk miskin di Negara tersebut. Hal ini dilakukan dengan berfokus pada pengembangan pertanian dan perdesaan serta menciptakan lapangan kerja.

Penciptaan lapangan kerja dimulai dari dunia pendidikan dengan mencetak tenaga ahli dalam bidang teknologi informasi, kemudian terbentuk lembah silicon yang disana terdapat sekitar 200 industri besar peranti lunak dan menyerap ratusan ribu tenaga kerja. Tidak hanya itu mereka pun melakukan dan mengembangkan industri otomatif dan perfilmnya sehingga mampu memperkerjakan banyak tenaga kerja. Karena itulah India mampu merubah Negara tersebut sekarang.

Bagaimana dengan Negara kita? Sampai saat ini program yang digalakkan oleh pemerintah dalam pengentasan kemiskinan hanyalah sebatas memberikan ikan semata tanpa memberikan pancing. Seperti berfokus kepada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin misalnya dalam bentuk raskin, BLT dan sebagainya. Upaya ini sebenarnya baik, namun program kedermawanan pemerintah ini justru dapat menjadikan dan memperburuk moral, prilaku masyarakat miskin bahkan mereka yang tidak miskin pun ikut merasakan kebijakannya, akibatnya tidak sedikit dari mereka yang menjadi ketergantungan. Selain itu juga program seperti bantuan sosial tersebut juga dapat menimbulkan celah korupsi dalam penyalurannya.

Oleh karena itu, kedepan program-program pengentasan kemiskinan ke depan harus di kembangkan dengan model pembangunan masyarakat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), yang di fokuskan kepada upaya menumbuhkan ekonomi kreatif dan produktif. Dengan begitu, program-program tersebut mampu membebaskan ketergantungan orang miskin dari yang bersifat permanen. SEMOGA*

posted by Irul Terate at 23.59

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home