Belajar, Ajarkan dan Amalkan
20 Okt 2009
To Be dan To Have Tuk Politisi Indonesia
MUNGKIN tidak salah ketika penulis mengatakan sekarang ini politisi-politisi di negeri ini seakan gila akan jabatan. Lihat saja, ketika pesta demokrasi terjadi, politisi-politisi ulung dan politisi “kamarin sore” berbondong-bondong mencalonkan diri. Menganggap dirinya seakan berkompeten di bidangnya sehingga layak dipilih oleh konstituen.
Hal ini tentunya beralasan, Fasilitas super mewah yang didapat, gaji ataupun tunjangan yang super tinggi dan lain-lain merupakan salah satu faktor utamanya. Hal ini tentunya tidak saja terjadi bagi politisi di daerah melainkan juga bagi politisi di tingkat nasional.
Seperti yang kita ketahui, saat ini media massa ramai memberitakan akan audisi dari para menteri. Puri Cikeas kini ramai sekali dikunjungi, bahkan menurut cerita ada yang menitipkan nama calon tersebut kepada mertua dari Presiden terpilih.
Prilaku gila akan jabatan dari politisi Indonesia ini tentunya membawa dampak tersendiri, sehingga konflik internal partai pun tak mampu terelakkan. Banyak petinggi partai yang membawa nama calon menteri tanpa melewati mekanisme baku dari partai itu sendiri. Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) misalnya, Partai yang menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia (LSI) Dodi Ambardi tampil sebagai challenger di ajang pemiliu. Kini seakan “merangkak-rangkak” meminta jabatan kepada SBY. Sehingga tak ayal Megawati pun harus menggelar rapat untuk dapat menyatukan pendapat mereka sendiri.
Selain itu, partai yang menjadi media darling ketika memasuki arena pemilu presiden pada juli lalu (baca, Golkar) pun tak kalah seperti PDIP. Harapan masyarakat agar kedua partai besar ini dapat menjadi pengawas di cabinet Indonesia Bersatu (KIB) II ternyata buyar sudah. Setelah Aburizal Bakrie terpilih menggantikan Jusuf Kalla sebagai ketua umum pada Munas Golkar lalu.
Selain PDIP dan Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan PPP pun tak mau juga ketinggalan. Elite di PAN misalnya mencari jalan lorong menuju Cikeas melalui caranya sendiri. Tak ayal hal-hal seperti ini mematik api konflik di tubuh partai tersebut.
Dari semua itu terkadang timbul pertanyaan penulis. Mengapa politisi-politisi seakan gila akan jabatan? Ada kata-kata yang sangat menarik dari brother David Steindl-Rast untuk dapat direnungi “Rasa syukur adalah kunci utama kebahagiaan yang ada di tangan kita karena jika kita tidak bersyukur, sebanyak apapun yang kita miliki kita tidak akan bahagia, karena kita akan selalu menginginkan hal lain atau lebih banyak lagi”
Apa yang dikatakan oleh David dan Rast mungkin adalah jawaban dari pertanyaan penulis diatas. Tidak adanya rasa syukur atau mensyukuri apa yang sudah dimiliki sehingga politisi tersebut seakan selalu merasa kurang. Dengan dalih bekerja untuk Negara, mereka mencalonkan diri namun kenyataan ketika terpilih mereka semua lupa, tak tahu diri dan tak tahu terima kasih.
Masyarakat sebagai konstituen kini merasa seakan dipinggirkan oleh orang-orang yang telah mereka pilih pada pesta demokrasi lalu. Milliaran terpakai dalam pesta tersebut dan apa yang kita lihat, apakah membawa dampak bagi Negara ini?
Apa yang menyebabkan hal ini bisa terjadi? Jamil Azzaini seorang trainer sekaligus inspirator pernah mengatakan bahwa ada dua kata yang sangat menentukan corak hidup seseorang. Kata yang pertama adalah To Be dan kata yang kedua adalah To Have.
To Be adalah keinginan kita untuk “menjadi”, sedangkan to have adalah keinginan untuk “memiliki”. To be dan to have ini memiliki perbedaan yang terletak pada tujuan yang hendak kita capai. Contoh dari to be itu sendiri ialah keinginan kita untuk menjadi seorang pengusaha sukses atau bagi seorang politisi keinginan ia untuk dapat duduk di kursi empuk dewan atau di kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Mengapa hal ini ia inginkan, karena politisi tersebut ingin memberikan sumbangsih buat bangsa, mengangkat citra bangsa dan mensejahterakan rakyat ini sebelum saat kematian tiba.
Sedangkan to have ketika politisi tersebut sudah lupa akan amanah yang akan ia emban.Yang ia kejar hanyalah fasilitas mewah, tunjangan ataupun uang-uang panas yang banyak beredar. Akhirnya ketika to have dari seorang politisi telah menjadi acuan hidup maka akan ia menghalalkan segala cara.
Korupsi yang merajalela di negeri ini adalah contoh kecil dari prilaku orang-orang yang menjadikan to have sebagai acuan hidupnya, sehingga tak ayal satu persatu orang seperti itu mendekam di balik jeruji. Namun demikian, to have bukanlah sesuatu yang dilarang. Tidak, hanya saja to have itu tidak boleh kita jadikan kendali dalam hidup kita. Bila seorang politisi menginginkan mobil mewah, rumah mewah maka pikirkanlah prestasi apa yang bisa diraih (baca, to be) agar apa-apa yang diinginkanya dapat tercapai.
Muhammad Yunus, seorang peraih nobel pada tahun 2006 telah menjadikan to be sebagai kendali hidupnya. Di suatu saat dia menginginkan kemiskinan itu hanya ada di museum. Simaklah pidatonya tersebut “ One day our grandchildren will go to museums to see what proverty was like” (The Independent, 5 May 96)
Selain M. Yunus, orang-orang terkaya di dunia pun telah menjadikan to be sebagi tujuan hidupnya. Bill Gates misalnya, ketika acara wisuda di Harvard University 7 Juni 2007 ia berpidato “Tetapi pencapaian terbesar kemanusiaan bukanlah pada penemu-penemuaanya__melainkan bagian penemuan tersebut di gunakan untuk mengurangi kesenjangan di dunia. Baik itu lewat pendidikan public yang kuat, kesehatan yang berkualitas maupun kesempatan ekonomi yang sangat luas__mengurangi kesenjangan merupakan keberhasila tertinggi umat manusia”
Luar biasa sekali, perntanyaannya kini dapatkah politisi di negeri ini lebih memilih to be sebagai kendali hidupnya? Lebih mencontoh orang-orang seperti Muh. Yunus dll? Jika tidak berarti kesejahteraan Indonesia pun belum akan tercapai dan masih akan tertunda tuk sementara, namun jika sudah maka mudah-mudahan, keberkahan hidup, kedamaian akan selalu mengikuti setiap masyarakat Indonesia. SEMOGA*i
Hal ini tentunya beralasan, Fasilitas super mewah yang didapat, gaji ataupun tunjangan yang super tinggi dan lain-lain merupakan salah satu faktor utamanya. Hal ini tentunya tidak saja terjadi bagi politisi di daerah melainkan juga bagi politisi di tingkat nasional.
Seperti yang kita ketahui, saat ini media massa ramai memberitakan akan audisi dari para menteri. Puri Cikeas kini ramai sekali dikunjungi, bahkan menurut cerita ada yang menitipkan nama calon tersebut kepada mertua dari Presiden terpilih.
Prilaku gila akan jabatan dari politisi Indonesia ini tentunya membawa dampak tersendiri, sehingga konflik internal partai pun tak mampu terelakkan. Banyak petinggi partai yang membawa nama calon menteri tanpa melewati mekanisme baku dari partai itu sendiri. Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) misalnya, Partai yang menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia (LSI) Dodi Ambardi tampil sebagai challenger di ajang pemiliu. Kini seakan “merangkak-rangkak” meminta jabatan kepada SBY. Sehingga tak ayal Megawati pun harus menggelar rapat untuk dapat menyatukan pendapat mereka sendiri.
Selain itu, partai yang menjadi media darling ketika memasuki arena pemilu presiden pada juli lalu (baca, Golkar) pun tak kalah seperti PDIP. Harapan masyarakat agar kedua partai besar ini dapat menjadi pengawas di cabinet Indonesia Bersatu (KIB) II ternyata buyar sudah. Setelah Aburizal Bakrie terpilih menggantikan Jusuf Kalla sebagai ketua umum pada Munas Golkar lalu.
Selain PDIP dan Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan PPP pun tak mau juga ketinggalan. Elite di PAN misalnya mencari jalan lorong menuju Cikeas melalui caranya sendiri. Tak ayal hal-hal seperti ini mematik api konflik di tubuh partai tersebut.
Dari semua itu terkadang timbul pertanyaan penulis. Mengapa politisi-politisi seakan gila akan jabatan? Ada kata-kata yang sangat menarik dari brother David Steindl-Rast untuk dapat direnungi “Rasa syukur adalah kunci utama kebahagiaan yang ada di tangan kita karena jika kita tidak bersyukur, sebanyak apapun yang kita miliki kita tidak akan bahagia, karena kita akan selalu menginginkan hal lain atau lebih banyak lagi”
Apa yang dikatakan oleh David dan Rast mungkin adalah jawaban dari pertanyaan penulis diatas. Tidak adanya rasa syukur atau mensyukuri apa yang sudah dimiliki sehingga politisi tersebut seakan selalu merasa kurang. Dengan dalih bekerja untuk Negara, mereka mencalonkan diri namun kenyataan ketika terpilih mereka semua lupa, tak tahu diri dan tak tahu terima kasih.
Masyarakat sebagai konstituen kini merasa seakan dipinggirkan oleh orang-orang yang telah mereka pilih pada pesta demokrasi lalu. Milliaran terpakai dalam pesta tersebut dan apa yang kita lihat, apakah membawa dampak bagi Negara ini?
Apa yang menyebabkan hal ini bisa terjadi? Jamil Azzaini seorang trainer sekaligus inspirator pernah mengatakan bahwa ada dua kata yang sangat menentukan corak hidup seseorang. Kata yang pertama adalah To Be dan kata yang kedua adalah To Have.
To Be adalah keinginan kita untuk “menjadi”, sedangkan to have adalah keinginan untuk “memiliki”. To be dan to have ini memiliki perbedaan yang terletak pada tujuan yang hendak kita capai. Contoh dari to be itu sendiri ialah keinginan kita untuk menjadi seorang pengusaha sukses atau bagi seorang politisi keinginan ia untuk dapat duduk di kursi empuk dewan atau di kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Mengapa hal ini ia inginkan, karena politisi tersebut ingin memberikan sumbangsih buat bangsa, mengangkat citra bangsa dan mensejahterakan rakyat ini sebelum saat kematian tiba.
Sedangkan to have ketika politisi tersebut sudah lupa akan amanah yang akan ia emban.Yang ia kejar hanyalah fasilitas mewah, tunjangan ataupun uang-uang panas yang banyak beredar. Akhirnya ketika to have dari seorang politisi telah menjadi acuan hidup maka akan ia menghalalkan segala cara.
Korupsi yang merajalela di negeri ini adalah contoh kecil dari prilaku orang-orang yang menjadikan to have sebagai acuan hidupnya, sehingga tak ayal satu persatu orang seperti itu mendekam di balik jeruji. Namun demikian, to have bukanlah sesuatu yang dilarang. Tidak, hanya saja to have itu tidak boleh kita jadikan kendali dalam hidup kita. Bila seorang politisi menginginkan mobil mewah, rumah mewah maka pikirkanlah prestasi apa yang bisa diraih (baca, to be) agar apa-apa yang diinginkanya dapat tercapai.
Muhammad Yunus, seorang peraih nobel pada tahun 2006 telah menjadikan to be sebagai kendali hidupnya. Di suatu saat dia menginginkan kemiskinan itu hanya ada di museum. Simaklah pidatonya tersebut “ One day our grandchildren will go to museums to see what proverty was like” (The Independent, 5 May 96)
Selain M. Yunus, orang-orang terkaya di dunia pun telah menjadikan to be sebagi tujuan hidupnya. Bill Gates misalnya, ketika acara wisuda di Harvard University 7 Juni 2007 ia berpidato “Tetapi pencapaian terbesar kemanusiaan bukanlah pada penemu-penemuaanya__melainkan bagian penemuan tersebut di gunakan untuk mengurangi kesenjangan di dunia. Baik itu lewat pendidikan public yang kuat, kesehatan yang berkualitas maupun kesempatan ekonomi yang sangat luas__mengurangi kesenjangan merupakan keberhasila tertinggi umat manusia”
Luar biasa sekali, perntanyaannya kini dapatkah politisi di negeri ini lebih memilih to be sebagai kendali hidupnya? Lebih mencontoh orang-orang seperti Muh. Yunus dll? Jika tidak berarti kesejahteraan Indonesia pun belum akan tercapai dan masih akan tertunda tuk sementara, namun jika sudah maka mudah-mudahan, keberkahan hidup, kedamaian akan selalu mengikuti setiap masyarakat Indonesia. SEMOGA*i
posted by Irul Terate at 03.26
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home