Belajar, Ajarkan dan Amalkan
1 Des 2009
Minah, Anggodo dan Alay
Ketiganya memanglah tidak saling kenal mengenal. Minah hidup di dusun sidoharjo, kecamatan Ajibarang, Banyumas. Anggodo hidup di kota Metropolitan, Jakarta sedangkan Sugiarto Wiharjo alias Alay hidup di Bumi Sang Ruwa Djurai.
Persamaannya, masing-masing dari ketiganya adalah Warga Negara Indonesia . Mereka masing-masing sama berlindung di bawah payung hukum negeri ini. Namun, meski berlindung di bawah hukum yang sama, nasib mereka sangatlah bertolak belakang.
Minah, perempuan enam puluh lima tahun yang tidak bisa berbahasa Indonesia ini harus dijatuhi vonis hukuman 1 bulan 15 hari oleh pengadilan negeri Purwokerto, kamis (19/11) hanya karena terbukti mencuri tiga buah biji kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan 4,pada 2 Agustus silam.
Ketika itu Minah yang sehari-hari menggunkan lahan tersisa di antara pohon-pohon kakao untuk bercocok tanam secara tumpang sari itu memetik tiga buah kakao. Saat mengupas kakao itulah muncul petugas patroli PT Rumpun. Petugas menduga buah itu akan dijual oleh Minah.
“Kalau dijual sekitar Rp 30.000” ujar petugas tersebut ketika di periksa oleh polisi sebagai saksi. Kepada polisi, petugas tersebut melepaskan Minah karena kasihan. Adapun tiga buah kakao dan karung plastik milik Minah ia ambil dan di serahkan ke PT.
Ternyata laporan itu berbuntut panjang. PT Rumpun membawa kasus ini ke kepolisian. Akhirnya, 13 Oktober, Minah jadi tersangka serta dikenai status tahanan rumah. Jaksa mendakwa Minah melanggar pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara (Tempo, 23-29 November 2009)
Anggodo Widjojo, pengusaha yang memilik jaringan luas mulai dari aparat hingga pengusaha papan atas adalah pengusaha sukses di Jawa Timur. Namanya menjadi terkenal ketika namanya disebut-sebut dalam kasus penyuapan terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non aktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah.
Ketika itu, seperti rekaman yang telah diperdengarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Anggodo yang merupakan adik dari Direktur Utama PT Masaro, Anggoro Widjojo yang terlibat kasus korupsi pengadaan system komunikasi radio terpadu di departemen kehutanan, mengatur kriminalisasi ketua KPK non aktif bersama lawan bicaranya.
Saat percakapan pribadinya itu disadap, dia melaporkannya ke polisi atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan penyadapan melalui media elektronik oleh KPK. Laporan polisi bernomor LP/631/X/2009 tersebut lalu sempat hampir diproses oleh mabes polri dengan memanggil pimpinan media seperti Kompas dan Seputar Indonesia .
Sedangkan bagi terdakwa kasus kredit fiktif senilai Rp 735,4 miliar di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tri Panca Setia Dana, Sugiarti Wiharjo alis Alay hidupnya kini memang sudah mendekam di dalam Lapas. Saat ini alay bersama tiga terpidana tindak pidana perbankkan (tipibank) lainnya telah dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan (LP) kelas 1 Rajabasa. Setelah sebelumnya, keempat nara pidana ini menjalani pidana di rumah tahanan (rutan) Wayhuwi, Lampung Selatan. (Radar Lampung, 28/11)
Namun walaupun sudah menghuni “hotel dibalik jeruji besi” tersebut, Alay seakan hanyalah memindah rumahkan tempat tinggalnya sendiri ke dalam lapas. Karena fasilitas yang tidak seperti narapidana lainnya yang harus merasakan memakan nasi basi pun tidak ia dapatkan, bahkan bersama Pudiyino Wiyanto (terdakwa lainnya) beserta empat petugas kejaksaaan dapat menikmati semangkok bakso di Jl. Arief Rahman Hakim, Sukarame, Bandar Lampung pada hari Rabu, (18/11) pukul 18.20 wib. (Radar Lampung, 25/11)
Dari ketiga contoh inilah yang menggabarkan fotret hukum di negeri kita sekarang ini. Minah, Anggodo dan Alay seakan hidup di sebuah negeri yang amat berbeda. Tapi beginilah kondisinya, mungkin saat ini aparat hukum kita sedang sakit. Sakit yang sesungguhnya hanya tak lain disebabkan oleh pulus yang akibatnya rasa dan nurani tersebut menjadi hilang.
Padahal jika kita cermati dalam kasus Minah, apalah arti dari tiga biji kakao. Dimakan tidaklah akan mengenyangkan, dijual tidak berharga dan di buang pun tidak akan sia-sia bahkan bila dijual pun tentunya tidaklah akan membuat nenek buta huruf tersebut menjadi kaya, karena harga dipasaran tiga buah kakao itu tak lah lebih dari Rp 2100,-
Seharusnya menurut penulis, kasus ini tidak lah perlu di bawa ke pengadilan. Kasus ini cukuplah sampai dan diselesaikan di tingkat Rukun Tetangga (RT). Tapi seperti itulah hukum di negeri ini, hukum yang lebih tepatnya hukum rimba dimana yang kuat akan menang sedangkan yang lemah akan semakin terhina atau hukum jaring laba-laba yang pernah penulis katakan di dalam opini “cicak dalam jaring laba-laba” yang diterbitkan di harian ini, 9 November kemarin.
Akibatnya mau tak mau orang kecil seperti Minah pun harus merasakan “keadilan” hukum untuk orang-orang kecil seperti dirinya. Sedangkan bagi Anggodo walaupun rekaman tersebut telah diperdengarkan namun belum ada reaksi yang jelas dari pihak kepolisian, bahkan siang Anggodo bisa menjadi tersangka dan malam harinya berubah menjadi saksi (Radar Lampung, 19/11). Itulah hukum dan saktinya Anggodo Widjojo.
Bagi peneliti filsafat, Saifur Rohman. Dimata hukum, Anggodo memang tidak lah bersalah karena sampai sekarang ketiadaaan putusan dari kehakiman bagi dirinya. Sedangkan Minah, merupakan pesakitan. Nuansa hidup minah adalah kepahitan hidup karena kemiskinan dan kekurangtahuan. Sedangkan anggodo hidup dalam prosedur formal yang dipenuhi akan tertib pikir dan tindakan. Minah buta huruf, sedangkan Anggodo mengerti dan mengetahui titik dan koma dari setiap Undang-Undang. Hidup bagi Minah adalah bagaimana baginya mencukupi kebutuhannya sehari-hari (Kompas, 25/11)
Pertanyaannya kini, dimanakah letak keadilan tersebut? Keadilan yang merupakan hak dasar dari semua orang, hak dari seluruh masyarakat Indonesia . Jika pertanyaan itu muncul tentulah keadilan itu hanya ada untuk pengusaha-pengusaha atau orang-orang yang besar dan mempunyai duit seperti Anggodo Widjojo dan Sugiarto Wiharjo. Wallahu’alam Bishawabi
posted by Irul Terate at 05.23
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home