Belajar, Ajarkan dan Amalkan

29 Jul 2009

KEMENANGAN SEJATI

(Sudah diterbitkan di Lampung Ekpres Plus, Trans Lampung 28 Juli dan Koran Lampung, Bangka Pos 29 Juli 2009)

SEJENAK setelah penulis membaca koran-koran nasional dan koran yang ada di Lampung, penulis berpikir, mengapa banyak sekali calon-calon pemimpin bangsa ini yang hanya mempersiapkan dirinya untuk memenangkan pertarungan namun tidak siap menerima kekalahannya?

Di Iran misalnya, kemenangan dari Presiden Mahmoud Ahmadinejad ternyata di protes keras oleh lawan politiknya di pemilihan presiden yang berlangsung 12 Juni lalu. Akibatnya, Mousavi sebagai lawannya dalam pertarungan itu menyerukan kepada pendukungnya untuk segera melakukan protes turun ke jalanan.

Hal sama juga terjadi di Negara kita, di pemilihan anggota legislatif untuk menempati posisi DPR pusat, kabupaten/kota ataupun utusan daerah pada 9 April lalu juga menyebabkan banyak calon-calon yang kalah mengalami depresi, stres bahkan sampai ada yang gantung diri (baca, mati sia-sia) hanya karena tidak siap menerima kenyataan bahwa dirinya kalah.

Entah mengapa semua itu bisa terjadi. Kini, di dalam proses pemilihan presiden pun hal-hal serupa dimana calon-calon yang kalah tidak siap menerima kekalahannya terulang kembali. Berbagai upaya dilakukan olehnya mulai dari memboikot karena merasa tidak puas berkenan dengan masalah kacaunya Daftar Pemilih Tetap (DPT), walkout dari pengesahan hasil pleno sampai-sampai tidak menghadiri penetapan hasil di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Hal ini menjadi bukti bahwa mereka belum menerima kekalahannya. Padahal menurut pengamat politik Universitas Indonesia (UI), Arbi Sanit mereka harus merasa ikut bertanggung jawab atas proses pemilihan umum yang dilakukan KPU karena bagaimanapun fraksinya di DPR ikut serta untuk membuat Undang-Undang pemilu dan juga ikut menyeleksi dan memilih anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) (Tribun Lampung, 26 Juli 2009)

Tapi itulah sebuah kenyataan, rakyat sendiri padahal sudah menerima hasil pemilihan presiden. Hal ini terbukti dengan tidak adanya demo-demo penolakan hasil penetapan tersebut walaupun ada tapi skala kecil dan menurut SBY ada yang menginginkan negara kita seperti Iran yang banyak dilakukan protes oleh lawan politiknya. Namun, begitulah layaknya sebuah pertarungan atau pertandingan dimana ada yang menang dan ada yang kalah.

Pemenang tentunya akan semakin percaya diri sedangkan yang kalah akan mengalami kekecewaan, baik kekecewaan karena perolehan yang tidak sesuai dengan harapan dan kenyataan maupun kekecewaan terhadap pelaksanaan pemilu yang masih saja ditemukan kecurangan di berbagai tempat.

Namun itu bukanlah sifat yang arif dan bijaksana untuk sekarang ini, sudah waktunya kekecewaan itu dikubur bersama dengan pengumuman hasil resmi pemilihan presiden dari komisi pemilihan umum.

Saatnya bagi semua pasangan capres-cawapres untuk berbesar hati menerima hasil pilpres, terutama bagi pasangan yang kalah. Ibarat kata penulis yang sering didengungkan kepada siswanya jika siswanya mengalami kegagalan dalam kejuaraan ialah sebuah pengalaman yang lebih berharga lebih dari apapun, untuk itu terus berlatih guna mempercepat speed dan tehnik kemudian yang tak kalah penting ialah jiwa besar dan sprotifitas seorang atlit untuk menerima kekalahannya dan mengakui bahwa lawannya satu kali lebih unggul dari dirinya, jadi tidaklah perlu lagi menyatakan wasit pertandingan berpihak, curang ataupun yang lainnya.

Lompatan Si Belalang

Hampir setiap browsing di internet penulis selain membalas pesan-pesan yang masuk di mail untuk sekedar berdiskusi juga selalu menyempatkan membaca cerita-cerita yang bisa diambil ibroh (pelajarannya). Berikut ini adalah sebuah cerita yang sederhana namun banyak pelajaran yang bisa kita petik terkait dengan kemenangan sejati.

Di suatu hutan, hiduplah seekor belalang muda yang cerdik. Belalang muda ini adalah belalang yang lompatannya paling Tinggi diantara sesama belalang yang lainnya. Belalang muda ini sangat membanggakan kemampuan lompatannya ini. Sehari-harinya belalang tersebut melompat dari atas tanah ke dahan-dahan pohon yang tinggi, dan kemudian makan daun-daunan yang ada di atas pohon tersebut. Dari atas pohon tersebut belalang dapat melihat satu desa di kejauhan yang kelihatannya indah dan sejuk. Timbul satu keinginan di dalam hatinya untuk suatu saat dapat pergi kesana.Suatu hari, saat yang dinantikan itu tibalah. Teman setianya, seekor burung merpati, mengajaknya untuk terbang dan pergi ke desa tersebut. Dengan semangat yang meluap-luap, kedua binatang itu pergi bersama ke desa tersebut.Setelah mendarat mereka mulai berjalan-jalan melihat keindahan desa itu.

Akhirnya mereka sampai di suatu taman yang indah berpagar tinggi, yang dijaga oleh seekor anjing besar. Belalang itu bertanya kepada anjing,”Siapakah kamu, dan apa yang kamu lakukan disini ?” “Aku adalah anjing penjaga taman ini. Aku dipilih oleh majikanku karena aku adalah anjing terbaik di desa ini” jawab anjing dengan sombongnya.Mendengar perkataan si anjing, panaslah hati belalang muda. Dia lalu berkata lagi “Hmm, tidak semua binatang bisa kau kalahkan. Aku menantangmu untuk membuktikan bahwa aku bisa mengalahkanmu. Aku menantangmu untuk bertanding melompat, siapakah yang paling tinggi diantara kita”. “Baik”, jawab si anjing. “Di depan sana ada pagar yang tinggi. Mari kita bertanding, siapakah yang bisa melompati pagar tersebut”.Keduanya lalu berbarengan menuju ke pagar tersebut.

Kesempatan pertama adalah si anjing. Setelah mengambil ancang-ancang, anjing itu lalu berlari dengan kencang, melompat, dan berhasil melompati pagar yang setinggi orang dewasa tersebut tersebut. Kesempatan berikutnya adalah si belalang muda. Dengan sekuat tenaga belalang tersebut melompat. Namun ternyata kekuatan lompatannya hanya mencapai tiga perempat tinggi pagar tersebut, dan kemudian belalang itu jatuh kembali ke tempatnya semula. Dia lalu mencoba melompat lagi dan melompat lagi, namun ternyata gagal pula.

Si anjing lalu menghampiri belalang dan sambil tertawa berkata ,”Nah belalang, apa lagi yang mau kamu katakan sekarang ? Kamu sudah kalah”. “Belum”, jawab si belalang. “Tantangan pertama tadi kamu yang menentukan. Beranikah kamu sekarang jika saya yang menentukan tantangan kedua ?” “Apapun tantangan itu, aku siap” tukas si anjing. Belalang lalu berkata lagi, “Tantangan kedua ini sederhana saja. Kita berlomba melompat ditempat. Pemenangnya akan diukur bukan dari seberapa tinggi dia melompat, dari diukur dari lompatan yang dilakukan tersebut berapa kali tinggi tubuhnya”.

Anjing kembali yang mencoba pertama kali. Dari hasil lompatannya, ternyata anjing berhasil melompat setinggi empat kali tinggi tubuhnya. Berikutnya adalah giliran si belalang. Lompatan belalang hanya setinggi setengah dari lompatan anjing, namun ketinggian lompatan tersebut ternyata setara dengan empat puluh kali tinggi tubuhnya. Dan belalang pun menjadi pemenang untuk lomba yang kedua ini. Kali ini anjing menghampiri belalang dengan rasa kagum.

“Hebat. Kamu menjadi pemenang untuk perlombaan kedua ini. Tapi pemenangnya belum ada. Kita masih harus mengadakan lomba ketiga”, kata si anjing. “Tidak perlu”, jawab si belalang. “Karena pada dasarnya pemenang dari setiap perlombaan yang kita adakan adalah mereka yang menentukan standard perlombaannya. Pada saat lomba pertama kamu yang menentukan standard perlombaannya dan kamu yang menang. Demikian pula lomba kedua saya yang menentukan, saya pula yang menang.

Intinya adalah kamu dan saya mempunyai potensi dan standar yang berbeda-beda tentang kemenangan. Adalah tidak bijaksana membandingkan potensi kita dengan yang lian. KEMENANGAN SEJATI adalah ketika dengan potensi yang kamu meiliki, kamu bisa melampui standar dirimu sendiri.

Begitulah cerita dari lompatan si belalang. Apa pelajaran yang bisa kita petik, disana dikatakan bahwa kemenangan sejati ialah ketika dengan potensi yang kita miliki, kita bisa melampaui standar diri kita sendiri.

Penulis pikir dalam konteks pemilihan presiden, tim-tim kampanye ataupun calon-calon yang kalah telah jauh melampui standar dirinya sendiri. Terbukti walaupun terjadi orientasi atau pergeseran pemilih pada pilpres kali ini masyarakat tetap menganggap Megawati dan Jusuf Kallah sebagai sosok yang lebih merakyat ketimbang iuncuembent Susilo Bambang Yudhoyono (Survey Tempo, 20-26 Juli 2009)

Untuk itu kini saatnya bagi semua pasangan capres-cawapres untuk berbesar hati menerima hasil ketetapan ini, terutama bagi pasangan yang kalah. Tunjukkan sikap sprortifitas yang tinggi. Rakyat butuh panutan pemimpin yang bukan hanya siap menang, tetapi juga pemimpin yang siap kalah.

Mengutip dari pernyataan lawan politik Mc Cain pada pidatonya setelah dirinya dinyatakan kalah suara dari Barrack Obama, pesaingnya dalam merebut kursi presiden Amerika Serikat yaitu “ Adalah hal biasa pada malam hari merasakan beberapa kekecewaan. Namun, besok kita harus melangkah ke depan bersam-sama”

Tak ada salahnya menurut penulis belajar dari seorang Mc Cain dalam menyikapi kekalahannya dan juga lompatan si belalang dalam menyikapi kemenangan sejati yang sesungguhnya itu seperti apa. Menerima dengan legowo dan kemudian kedepan bersama-sama membangun bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat guna mewujudkan Indonesia yang sejahtera.

posted by Irul Terate at 21.14

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home