Belajar, Ajarkan dan Amalkan

10 Des 2009

Fokus Pemberantasan Korupsi

Tepat 9 Desember, secara global, dunia memperingati hari anti korupsi Internasional. Di tahun ini agaknya hari tersebut jauh lebih booming dari tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana tidak, beberapa hari sebelum hari itu tiba, orang nomor satu di negeri ini menjadi cemas.

Kecemasan itu setidaknya disampaikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di hadapan kader Partai Demokrat di sela-sela rapat pimpinan nasional di Jakarta, Convention Center (JCC), Senin, (6/12). SBY menyebutkan bahwa akan ada gerakan politik pada 9 desember yang tidak hanya bermaksud menggoyang pemerintahannya, tetapi juga ingin menurunkan dirinya dari kursi presiden.

Kecemasan serupa itu pun pernah diungkapkan SBY ketika memberikan pidato pengantar pada rapat kabinet paripurna, Jum’at (4/12). Yudhoyono mengungkapkan akan ada gerakan sosial politik yang memiliki motif politik tersendiri ketika perayaan hari anti korupsi nantinya.

Pernyataan yang disampaikan Yudhoyono itu adalah berdasarkan perenungan dan olah pikir dirinya sendiri . Menurut peneliti senior LIPI Syamsudin Haris, pernyataan itu merupakan sikap dari ketidakpercayaan presiden. Sikap itu menurutnya sangatlah berlebihan, tidak produktif, dan tidak percaya diri dengan keterpilihannya yang absolute di dalam pemilu lalu (Radar Lampung, 7/12)

Situasi yang kian memanas tersebut jika kita telusuri akar rumputnya tentunya tidaklah terlepas dari dana Bank Century yang diduga mengalir ke sejumlah partai, salah satunya ialah diindikasi mengalir ke partai berlambang mercy itu sendiri.

Namun kecemasan orang nomor satu di negeri ini tersebut nanti akanlah terjawab sudah. Dari kaca mata penulis, masyarakat yang melakukan berbagai aksi yang tergabung di dalam berbagai elemen anti korupsi yang turun kejalanan hari ini nantinya hanyalah sebagai bentuk dukungan moril kepada penegak hukum atau pihak yang berwenang untuk melanjutkan pemberantasan korupsi di negeri ini.

Korupsi memang tak hanya di Indonesia yang telah menggerogoti setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan juga di berbagai belahan Negara lain. Untuk itulah setiap 9 Desember dirayakan sebagai momentum untuk memperingati perlawanan terhadap korupsi di seluruh dunia.

Korupsi sesungguhnya memanglah selalu menjadi tujuan perjuangan aparat penegak hukum dan elemen perjuangan. Begitu banyak upaya dikerahkan untuk melawan korupsi sampai-sampai seluruh Negara diberikan rangking korupsinya. Hal ini bertujuan tak lain demi mengubah dan memberikan sanksi sosial di antara bangsa-bangsa tentunya.
Pertanyaannya bagaimana dengan Indonesia? Untuk Negara kita korupsi merupakan salah satu isu hangat yang selalu diperbincangkan sepanjang waktu. Baik itu dari orang-orang kota maupun masyarakat awam yang ada di pedesaan.

Hal ini terjadi tak lebih dari banyaknya kasus-kasus korupsi yang sering terjadi, terlebih lagi ketika perseteruan cicak versus buaya yang beberapa minggu lalu yang menjadi sorotan media bak terorisme yang menghangat sebelumnya.

Untuk itu wajar saja ketika masa-masa kampanye, korupsi merupakan salah satu alat yang digunakan oleh para calon untuk memikat hati pemilih dengan jargon katakan tidak pada korupsi atau yang lainnya. Tentunya hal itu dilakukan mereka agar berupaya untuk menyakinkan hati publik bahwa partai politik mereka adalah partai yang mempunyai komitmen untuk memberantas korupsi sehingga kesejahteraan pun bagi masyarakat kita segera menghampiri.

Korupsi memang selalu dianggap berhubungan dengan kesejahteraan dari sebuah bangsa. Negara bersih, Negara bebas korupsi dan Negara semakin sejahtera. Dimana-mana selalu ada justisfikasi seperti itu.

Untuk Negara kita memang belum banyak berubah. Dalam berbagai survey akan indeks korupsi di Negara kita, memanglah belum ada perubahan drastis. Tempat duduk kita selalu belum beranjak dari posisi nomor urut “bontot” dalam perlawanan terhadap korupsi.

Tahun 2007 misalnya, indeks persepsi korupsi (IPK) kita berada pada urutan ke 143 dari 180 negara yang disurvei. Di tahun 2008 kita “naik kelas” menduduki tempat 126 tetapi tidak lebih baik dari Nigeria atau juga Vietnam.

Sedangkan ditahun ini dalam survey yang dilakukan oleh Transparency International dengan rentang indeks dari 0 (terkorup) hingga 10 (terbersih), Negeri ini mendapatkan nilai 2,8 naik dari sebelumnya 2,6. Dan nilai ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke 111 dari 180 negara yang disurvei.

Peringkat yang didapatkan ini ternyata dianggap terbersih selama kurun waktu 14 tahun. Sedangkan di dalam lingkup yang lebih kecil, yakni sepuluh Negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), Indonesia naik peringkat menjadi kelima di bawah Singapura (9,2), Brunei Darussalam (5,5), Malaysia ( 4,5) dan Thailand dengan skor 3,4. Prestasi yang “baik” setelah setahun sebelumnya negeri ini berada pada posisi buncit.

Indeks persepsi korupsi yang respondennya di dapatkan dari pelaku bisnis itu menumbuhkan sebuah harapan tersendiri tentunya. Kesempatan dan peluang untuk berinvestasi di Indonesia dinilai akan semakin kondusif dan menarik bagi para pemilik modal untuk dapat berinvestasi di negeri ini. Pertanyaannya kini, mampukah kita mempertahankan atau bahkan memperbaiki kondisi yang sudah semakin membaik ini? Kita semua berharap tentunya.

Korupsi memanglah sebuah kenyataan yang harus kita hadapi di dasawarsa ini. Perang terhadap korupsi semestinya bukanlah hanya tugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau lembaga lainnya. Hal ini merupakan tugas utama atau tanggung jawab kita bersama untuk memberantas korupsi. Karena bagaimana pun juga, tidak ada salah satu agama manapun yang menurut hemat penulis yang membenarkan akan praktik korupsi.

Korupsi di Negara ini memang sudah dipercaya telah ada sejak Negara ini merdeka. Kasus korupsi PN Triangle Corporation yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar 6 miliar pada tahun 1960 adalah salah satu contohnya.

Ketika itu, kapten Iskandar yang menjabat sebagai Manager PN Triangle Corporation didakwa menyalahgunakan kedudukan dan jabatanya serta melakukan pelanggaran terhadap perintah penguasa perang daerah Jawa Barat.

Kapten Iskandar sewaktu itu dituntut hukuman mati dalam sidang pengadilan tentara daerah militer VI siliwangi karena terbukti menjual kopra dan minyak kelapa dengan harga yang telah ditetapkan (Kompas, 25/09/1965)

Parahnya prilaku korupsi itu terus berlanjut sampai sekarang. Didalam catatan litbang kompas, selama 2005 hingga 2009 saja terjadi kasus korupsi di 21 lembaga, mulai dari lembaga Negara seperti penegak hukum, Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Departemen, Birokrasi, Pemerintah Daerah, Partai Poltik, hingga anggota parlemen.
Sedangkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, dari tahun 2004 hingga 2008 saja ada 211 kasus korupsi yang diselidiki, 107 perkara penyidikan, 75 perkara penuntutan, 59 perkara telah berkekuatan hukum tetap, dan 53 perkara telah dieksekusi.

Penyelewengan ini terjadi tidak hanyalah terjadi di kalangan elit kekuasaan tetapi juga telah merembet ke akar rumput dari birokrasi kita. Hingga kini, nama-nama seperti Nur Amin Nasution, Bulyan Royan, Achmad Natukusumah yang diduga terlibat kasus korupsi dan suap dana pinjaman daerah Rp 200 miliar di Bank Jabar pada tahun 2006, ketika menjabat Bupati Pandeglang, Banten, dan lain-lain adalah contoh segelintir pejabat kita yang mendekam di jeruji besi akibat kasus korupsi.

Untuk itulah melalui peringatan hari anti korupsi ini sebenarnya merupakan momen penting refleksi bagi kita bersama untuk memfokuskan diri dan mengatakan bahwa musuh bersama kita ada korupsi.***i
posted by Irul Terate at 00.38

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home