Belajar, Ajarkan dan Amalkan
11 Des 2009
Berkaca Pada Perdana Menteri China
Setelah diperdengarkan drama besar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 13/11 yang menyingkap upaya suap yang diikuti upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hampir tak tersisa harapan akan adanya lembaga Negara yang akan bebas dari korupsi.
Meminjam istilah penyanyi legendaris, Iwan Fals bahwa korupsi saat ini berkembang biak sampai kelurahan adalah benar adanya. Terutama di negeri ini, hampir tidak ada satupun institusi Negara yang tidak terkontaminasi oleh penyakit korupsi. Ibarat penyakit, korupsi sudah memasuki stadium empat atau dalam masa kritis.
Kenyataanya memanglah seperti apa adanya, pusaran badai korupsi memang terjadi di berbagi lembaga di negeri ini. Dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kejaksaan, Kepolisian, bahkan orang-orang yang berkutat dengan urusan keagamaan pun (baca, Departemen Agama) tak lepas dari yang namanya korupsi.
Memang itu hanyalah oknum, namun itu dahulu dan kini korupsi sudah dilakukan secara berjamaah. Ibaratnya jika dahulu korupsi dilakukan di bawah meja maka sekarang korupsi dilakukan dengan terang-terangan di atas meja, bahkan mejanya pun ikut dikorupsi. Prilaku yang sangat parah tentunya.
Pertanyaannya, apakah yang menyebabkan maraknya prilaku korupsi di negeri ini? Dalam suatu jajak pendapat yang dilakukan oleh salah satu media nasional menyimpulkan bahwa lebih dari separuh responden, dari 881 responden yang di survey mengatakan bahwa salah satu maraknya prilaku korupsi di negeri ini tak lain disebabkan oleh hukuman yang terlalu ringan.
Bagi penulis, terlepas dari keterlibatan langsung maupun tidak langsung para penegak hukum atau yang lainnya dalam menjatuhkan vonis akibat putaran korupsi memang penulis nilai hukumuannya terlalu ringan. Contoh kecil, ialah vonis yang dijatuhkan kepada ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah periode 1999-2004, Mardijo, hanya dihukum setahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Padahal ia terbukti mencuri uang anggaran belanja daerah sebesar 14,8 milliar.
Pertanyaanya, hukuman apakah yang pantas sehingga memimbulkan efek jera bagi para koruptor? Pertanyaannya mungkin akan kita jawab jika kita berkaca pada China.
Belajar menghukum para koruptor bagi bangsa ini haruslah sering berkaca pada Negara-negara yang tidak pernah menempatkan koruptor di negaranya. Salah satu Negara tersebut adalah China.
China terutama ketika perdana menteri Zhu Rongji berkuasa sangatlah keras bagi koruptor. Ketika ia di lantik tahun 1998, ia mengatakan bahwa berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirimkan untuk para koruptor. Satu buat saya sendiri jika saya pun melakukannya.
Apa yang dikatakan Zhu tidaklah sekedar pepesan kosong belaka, namun sedikit-sedikit ia mulai menempati janjinya. Setidaknya partai komunis China, pejabat tingginya yang bernama Cheng Kejie dihukum mati karena terlibat suap 5 juta dolar. Tanpa ampun, permohonan bandingnya pun ditolak pengadilan.
Selain itu, Zhu juga pernah mengirimkan peti mati bagi koleganya sendiri, Hu Chang Ging. Ia adalah wakil Gubernur Provinsi Jiang Xi. Ia dijatuhi hukuman mati dengan cara ditembak setelah terbukti menerima suap berupa mobil dan permata senilai 5 milliar.
Tak hanya itu, deputi general manager cabang bank konstruksi China yang merupakan salah satu bak milik Negara di Provinsi Sichuan, dihukum mati karena korupsi. Lelaki 37 tahun itu terbukti merugikan bank sebesar 4 juta yuan atau sekitar Rp 3,9 milliar sejak tahun 1998 sampai 2001.
Hu Chang Ging, Xiao Hongbo dan Cheng Kejie adalah tiga orang diantara lebih dari empat ribu orang yang dihukum mati sejak tahun 2001 karena terbukti melakukan kejahatan, termasuk korupsi.
Apa yang di lakukan Zhu sempat mendapat tentangan dari Amnesti Internasional (AI) yang mengutuk cara perdana menteri ini dalam memberantas korupsi namun menurutnya inilah cara dirinya untuk menyelamatkan Negara dari kehancuran.
Ribuan peti mati yang telah terisi, tidak hanya bagi para koruptor tetapi juga untuk para pengusaha bahkan wartawan. Ketegasan Zhu di dalam penetapan hukuman tidak hanya bagi koruptor tetapi juga pelanggaran-pelanggaran lainnya. Setidaknya selama empat bulan di tahun 2003, sebanyak 33.761 polisi di Negara tersebut di pecat karena berjudi, mabuk-mabukan dan menerima suap. Mampukah negeri ini menerapkan seperti apa yang di terapkan oleh perdana menteri Zhu?
Menurut Zhu ia hanya berprinsip untuk membunuh seekor ayam untuk menakuti seribu ekor kera. Dan prinsip tersebut kini telah terbukti, sejak ayam-ayam dibunuh. Kera-kera di Negara tersebut mengalami ketakutan yang sangat. Akibatnya mereka enggan untuk melakukan korupsi. Dan kini dampak logis dari semua itu adalah pertumbuhan ekonomi China yang semakin tahun semakin meningkat.
Perekonomian China kini tumbuh 7,9 persen selama kuartal kedua 2009 dan ini merupakan sesuatu yang mengagumkan bagi kekuatan utama Asia.
Bisakah negeri kita mencapai perekonomian seperti China? Bagi penulis semua akan mampu jika kita tidak selalu menjadikan dan membiasakan prilaku korupsi menjadi teman bagi diri kita sendiri.Semoga***i
Meminjam istilah penyanyi legendaris, Iwan Fals bahwa korupsi saat ini berkembang biak sampai kelurahan adalah benar adanya. Terutama di negeri ini, hampir tidak ada satupun institusi Negara yang tidak terkontaminasi oleh penyakit korupsi. Ibarat penyakit, korupsi sudah memasuki stadium empat atau dalam masa kritis.
Kenyataanya memanglah seperti apa adanya, pusaran badai korupsi memang terjadi di berbagi lembaga di negeri ini. Dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kejaksaan, Kepolisian, bahkan orang-orang yang berkutat dengan urusan keagamaan pun (baca, Departemen Agama) tak lepas dari yang namanya korupsi.
Memang itu hanyalah oknum, namun itu dahulu dan kini korupsi sudah dilakukan secara berjamaah. Ibaratnya jika dahulu korupsi dilakukan di bawah meja maka sekarang korupsi dilakukan dengan terang-terangan di atas meja, bahkan mejanya pun ikut dikorupsi. Prilaku yang sangat parah tentunya.
Pertanyaannya, apakah yang menyebabkan maraknya prilaku korupsi di negeri ini? Dalam suatu jajak pendapat yang dilakukan oleh salah satu media nasional menyimpulkan bahwa lebih dari separuh responden, dari 881 responden yang di survey mengatakan bahwa salah satu maraknya prilaku korupsi di negeri ini tak lain disebabkan oleh hukuman yang terlalu ringan.
Bagi penulis, terlepas dari keterlibatan langsung maupun tidak langsung para penegak hukum atau yang lainnya dalam menjatuhkan vonis akibat putaran korupsi memang penulis nilai hukumuannya terlalu ringan. Contoh kecil, ialah vonis yang dijatuhkan kepada ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah periode 1999-2004, Mardijo, hanya dihukum setahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Padahal ia terbukti mencuri uang anggaran belanja daerah sebesar 14,8 milliar.
Pertanyaanya, hukuman apakah yang pantas sehingga memimbulkan efek jera bagi para koruptor? Pertanyaannya mungkin akan kita jawab jika kita berkaca pada China.
Belajar menghukum para koruptor bagi bangsa ini haruslah sering berkaca pada Negara-negara yang tidak pernah menempatkan koruptor di negaranya. Salah satu Negara tersebut adalah China.
China terutama ketika perdana menteri Zhu Rongji berkuasa sangatlah keras bagi koruptor. Ketika ia di lantik tahun 1998, ia mengatakan bahwa berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirimkan untuk para koruptor. Satu buat saya sendiri jika saya pun melakukannya.
Apa yang dikatakan Zhu tidaklah sekedar pepesan kosong belaka, namun sedikit-sedikit ia mulai menempati janjinya. Setidaknya partai komunis China, pejabat tingginya yang bernama Cheng Kejie dihukum mati karena terlibat suap 5 juta dolar. Tanpa ampun, permohonan bandingnya pun ditolak pengadilan.
Selain itu, Zhu juga pernah mengirimkan peti mati bagi koleganya sendiri, Hu Chang Ging. Ia adalah wakil Gubernur Provinsi Jiang Xi. Ia dijatuhi hukuman mati dengan cara ditembak setelah terbukti menerima suap berupa mobil dan permata senilai 5 milliar.
Tak hanya itu, deputi general manager cabang bank konstruksi China yang merupakan salah satu bak milik Negara di Provinsi Sichuan, dihukum mati karena korupsi. Lelaki 37 tahun itu terbukti merugikan bank sebesar 4 juta yuan atau sekitar Rp 3,9 milliar sejak tahun 1998 sampai 2001.
Hu Chang Ging, Xiao Hongbo dan Cheng Kejie adalah tiga orang diantara lebih dari empat ribu orang yang dihukum mati sejak tahun 2001 karena terbukti melakukan kejahatan, termasuk korupsi.
Apa yang di lakukan Zhu sempat mendapat tentangan dari Amnesti Internasional (AI) yang mengutuk cara perdana menteri ini dalam memberantas korupsi namun menurutnya inilah cara dirinya untuk menyelamatkan Negara dari kehancuran.
Ribuan peti mati yang telah terisi, tidak hanya bagi para koruptor tetapi juga untuk para pengusaha bahkan wartawan. Ketegasan Zhu di dalam penetapan hukuman tidak hanya bagi koruptor tetapi juga pelanggaran-pelanggaran lainnya. Setidaknya selama empat bulan di tahun 2003, sebanyak 33.761 polisi di Negara tersebut di pecat karena berjudi, mabuk-mabukan dan menerima suap. Mampukah negeri ini menerapkan seperti apa yang di terapkan oleh perdana menteri Zhu?
Menurut Zhu ia hanya berprinsip untuk membunuh seekor ayam untuk menakuti seribu ekor kera. Dan prinsip tersebut kini telah terbukti, sejak ayam-ayam dibunuh. Kera-kera di Negara tersebut mengalami ketakutan yang sangat. Akibatnya mereka enggan untuk melakukan korupsi. Dan kini dampak logis dari semua itu adalah pertumbuhan ekonomi China yang semakin tahun semakin meningkat.
Perekonomian China kini tumbuh 7,9 persen selama kuartal kedua 2009 dan ini merupakan sesuatu yang mengagumkan bagi kekuatan utama Asia.
Bisakah negeri kita mencapai perekonomian seperti China? Bagi penulis semua akan mampu jika kita tidak selalu menjadikan dan membiasakan prilaku korupsi menjadi teman bagi diri kita sendiri.Semoga***i
posted by Irul Terate at 00.36
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home