Belajar, Ajarkan dan Amalkan
11 Nov 2009
“CICAK DALAM JARING LABA-LABA”
Apa yang sedang terjadi dengan hukum di negeri ini? Mungkin itulah pertanyaan terbesar dari penulis dan masyarakat Indonesia sampai saat ini. Bagaimana tidak, Indonesia yang disebut-sebut sebagai Negara hukum, yang menjadikan hukum menjadi panglima tertinggi dalam tatanan, dalam setiap sendi kehidupan, yang tidak membedakan kaya, miskin, pejabat atau rakyat biasa, kini tidaklah terjadi lagi.
Setidaknya kita bisa mengambil beberapa contoh sepeti kasus Prita Mulyasari, yang akibat mengirimkan email keluhannya terhadap Rumah Sakit Omni, maka ia harus merasakan dinginnya lantai penjara. Selain itu, seseorang yang ditahan sejak 8 September 2009 hanya karena mengecas telepon selulernya di koridor apartemenya Roxy Mas, Aguswandi pun tak ubah “korban” dan kriminalisasi dari rakyat kecil dan hukum yang berpihak pada orang-orang besar, dan sudah bisa di tebak, ia pun harus meringkuk di tahanan polisi.
Dan kini, apa yang menjadi perhatian publik terhadap kasus perseteruan “cicak versus buaya” yang menyebabkan Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditahan pun tak ubah seperti hukum yang berpihak kepada orang-orang besar tetapi juga nakal.
Cicak Dalam Jaring Laba-Laba
Jika kita mencermati upaya pemberantasan korupsi di belahan bumi, maka ternyata kasus perseteruan antara korps berbaju coklat (Polisi) dengan institusi yang memberantas korupsi sudahlah pernah terjadi sebelumnya. Drama yang jika di negeri ini berjudul Cicak Versus Buaya ternyata sebelumnya pernah terjadi di Hongkong pada 1974 silam.
Independent Commission Against Corruption (ICAC) merupakan lembaga pemberantasan korupsi Independent yang sewaktu itu harus berhadapan dengan polisi-polisi Hongkong di kala itu.
Perseteruan itu terjadi bermula ketika ICAC menorehkan tinta emas dengan memenjarakan Peter Fitzroy Godber, seorang perwira tinggi polisi yang tidak bisa menjelaskan dari mana asal uang di rekening banknya, yang berjumlah US$ 600 ribu.
Kemudian dengan bantuan teman-temannya, Godber ini dapat melarikan diri. Namun karna kepiawaian dari ICAC maka mampu mengekstradisi buronan tersebut kembali ke Hongkong. Dan kejadian ini membuat HKPF (Angkatan Kepolisian Kota itu) merasa terancam.
Alhasil pada 28 Oktober 1977 merupakan puncak perseteruan institusi tersebut dikarenakan banyak anggota HKPF yang menyerbu dan memasuki kantor ICAC secara paksa (Catatan pinggir Tempo, 5-11 Oktober 2009)
Apa yang terjadi di Hongkong 1974 silam ternyata berputar kembali di tahun 2009 ini, di negeri ini. Perseteruan KPK dan Polri yang saat ini memasuki babak saling tuding ini mampu menyedot perhatian publik dan khalayak ramai.
Ditambah setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memperdengarkan kepada publik rekaman yang berdurasi 4,5 jam percakapan antara Anggodo Widjojo, adik direktur utama PT Masaro Anggoro Widjojo, yang terlibat korupsi pengadaan system komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan-dan para lawan bicaranya untuk mengatur kriminalisai ketua KPK non aktif, selasa (3/11)
Disana mata publik Indonesia bisa melihat bahwa adanya persekongkolan busuk antara pengusaha nakal, penguasa, dan aparat penegak hukum di Polri dan Kejaksaan Agung untuk mengatur kasus ini yang berujung dengan penutupan Komisi Pemberantasan Korupsi ini.
Selain itu, adanya orang-orang kuat atau mafia peradilan (Mafioso) yang mencoba mempermainkan proses hukum yang ada di negeri ini. Sehingga wajar saja jika sampai saat ini Anggodo Widjojo pun hanya belum “naik” rating dari saksi menjadi tersangka dikarenakan menurut Polri belum memiliki bukti yang cukup kuat untuk menetapkannya menjadi tersangka.
Aneh dan Ajaib memang melihat itu semua, namun itulah hukum di negeri ini sekarang. Meminjam istilah dari seorang filsuf Yunani, Plato bahwa hukum itu seperti jaring laba-laba “Laws are spider webs ; they hold the weak and delicated who are caught in their in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerfull”
Tentunya jika kita cermati jaring laba-laba hanyalah mampu menjerat yang lemah, mangsa yang kecil yang mungkin dalam hal perseteruan ini adalah Cicak. Tetapi jaring tersebut akan robek jika menjerat mangsa yang kuat dan kaya (baca, buaya). Apa benang merah dari yang dikatakan Plato, tentunya adalah KETIDAKADILAN dari hukum itu sendiri.
Padahal bila keadilan dalam hukum tidak diimplikasikan maka yang timbul adalah tidak berjalannya penegakan hukum yang efektif sehingga kerusakan dan kehancuran di berbagai bidang telah menanti.
Seorang guru kebajikan, Socrates telah mengingatkan kita semua akan penghormatan pada hukum. Ia berujar bahwa celakalah akan sebuah negeri yang penghuninya tidak respek kepada hukum, karena menurutnya hukum merupakan landasan hidup bersama yang paling utama jika kita ingin meraih/menikmati keadilan, kedamaian, kebahagiaan, keamanan dan kesejahteraan.
Karena itu, setiap pengabdian hukum, sekecil apapun itu melanggar, memandulkan ataupun memanipulasi, merupakan tindakan keji yang amat berbahaya bagi eksistensi dari sebuah bangsa. Begitu hukum dicabik-cabik, kehancuran di depan mata. Karena yang akan terjadi adalah kesewanangan, penindasan, ketidakadilan, dan merajalelanya kebiadaban.
Namun agaknya, apa yang dikatakan Socrates ini belumlah bisa di dengarkan dan dilaksanakan oleh penegak hukum di negeri ini. Alhasil, karena ketidakadilan, karena kecewa, marah dan putus asa terhadap penegakan hukum maka kekuatan rakyat atau People Power untuk membebaskan cicak dalam jerat hukum laba-laba sampai saat ini terus berdatangan.
Dari tokoh masyarakat, tokoh parpol sampai facebookers yang menurut pengamatan penulis pribadi sampai saat ini dukungan tersebut telah lebih melebihi dari 1.000.000, dukungan. Dan ini membuktikan bahwa publik menginginkan adanya keprofesionalan dan ketransparanannya kasus ini dari Polri dan kejaksaan agung dalam mengusut tuntas kasus ini sehingga publik bisa mengetahui apa yang dikatakan Amin Raies bahwa siapa yang selama ini menjadi musang berbulu ayam, serigala berbulu domba atau genderuwo berbusana dewa segera terungkap. SEMOGA!!!i
Setidaknya kita bisa mengambil beberapa contoh sepeti kasus Prita Mulyasari, yang akibat mengirimkan email keluhannya terhadap Rumah Sakit Omni, maka ia harus merasakan dinginnya lantai penjara. Selain itu, seseorang yang ditahan sejak 8 September 2009 hanya karena mengecas telepon selulernya di koridor apartemenya Roxy Mas, Aguswandi pun tak ubah “korban” dan kriminalisasi dari rakyat kecil dan hukum yang berpihak pada orang-orang besar, dan sudah bisa di tebak, ia pun harus meringkuk di tahanan polisi.
Dan kini, apa yang menjadi perhatian publik terhadap kasus perseteruan “cicak versus buaya” yang menyebabkan Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditahan pun tak ubah seperti hukum yang berpihak kepada orang-orang besar tetapi juga nakal.
Cicak Dalam Jaring Laba-Laba
Jika kita mencermati upaya pemberantasan korupsi di belahan bumi, maka ternyata kasus perseteruan antara korps berbaju coklat (Polisi) dengan institusi yang memberantas korupsi sudahlah pernah terjadi sebelumnya. Drama yang jika di negeri ini berjudul Cicak Versus Buaya ternyata sebelumnya pernah terjadi di Hongkong pada 1974 silam.
Independent Commission Against Corruption (ICAC) merupakan lembaga pemberantasan korupsi Independent yang sewaktu itu harus berhadapan dengan polisi-polisi Hongkong di kala itu.
Perseteruan itu terjadi bermula ketika ICAC menorehkan tinta emas dengan memenjarakan Peter Fitzroy Godber, seorang perwira tinggi polisi yang tidak bisa menjelaskan dari mana asal uang di rekening banknya, yang berjumlah US$ 600 ribu.
Kemudian dengan bantuan teman-temannya, Godber ini dapat melarikan diri. Namun karna kepiawaian dari ICAC maka mampu mengekstradisi buronan tersebut kembali ke Hongkong. Dan kejadian ini membuat HKPF (Angkatan Kepolisian Kota itu) merasa terancam.
Alhasil pada 28 Oktober 1977 merupakan puncak perseteruan institusi tersebut dikarenakan banyak anggota HKPF yang menyerbu dan memasuki kantor ICAC secara paksa (Catatan pinggir Tempo, 5-11 Oktober 2009)
Apa yang terjadi di Hongkong 1974 silam ternyata berputar kembali di tahun 2009 ini, di negeri ini. Perseteruan KPK dan Polri yang saat ini memasuki babak saling tuding ini mampu menyedot perhatian publik dan khalayak ramai.
Ditambah setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memperdengarkan kepada publik rekaman yang berdurasi 4,5 jam percakapan antara Anggodo Widjojo, adik direktur utama PT Masaro Anggoro Widjojo, yang terlibat korupsi pengadaan system komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan-dan para lawan bicaranya untuk mengatur kriminalisai ketua KPK non aktif, selasa (3/11)
Disana mata publik Indonesia bisa melihat bahwa adanya persekongkolan busuk antara pengusaha nakal, penguasa, dan aparat penegak hukum di Polri dan Kejaksaan Agung untuk mengatur kasus ini yang berujung dengan penutupan Komisi Pemberantasan Korupsi ini.
Selain itu, adanya orang-orang kuat atau mafia peradilan (Mafioso) yang mencoba mempermainkan proses hukum yang ada di negeri ini. Sehingga wajar saja jika sampai saat ini Anggodo Widjojo pun hanya belum “naik” rating dari saksi menjadi tersangka dikarenakan menurut Polri belum memiliki bukti yang cukup kuat untuk menetapkannya menjadi tersangka.
Aneh dan Ajaib memang melihat itu semua, namun itulah hukum di negeri ini sekarang. Meminjam istilah dari seorang filsuf Yunani, Plato bahwa hukum itu seperti jaring laba-laba “Laws are spider webs ; they hold the weak and delicated who are caught in their in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerfull”
Tentunya jika kita cermati jaring laba-laba hanyalah mampu menjerat yang lemah, mangsa yang kecil yang mungkin dalam hal perseteruan ini adalah Cicak. Tetapi jaring tersebut akan robek jika menjerat mangsa yang kuat dan kaya (baca, buaya). Apa benang merah dari yang dikatakan Plato, tentunya adalah KETIDAKADILAN dari hukum itu sendiri.
Padahal bila keadilan dalam hukum tidak diimplikasikan maka yang timbul adalah tidak berjalannya penegakan hukum yang efektif sehingga kerusakan dan kehancuran di berbagai bidang telah menanti.
Seorang guru kebajikan, Socrates telah mengingatkan kita semua akan penghormatan pada hukum. Ia berujar bahwa celakalah akan sebuah negeri yang penghuninya tidak respek kepada hukum, karena menurutnya hukum merupakan landasan hidup bersama yang paling utama jika kita ingin meraih/menikmati keadilan, kedamaian, kebahagiaan, keamanan dan kesejahteraan.
Karena itu, setiap pengabdian hukum, sekecil apapun itu melanggar, memandulkan ataupun memanipulasi, merupakan tindakan keji yang amat berbahaya bagi eksistensi dari sebuah bangsa. Begitu hukum dicabik-cabik, kehancuran di depan mata. Karena yang akan terjadi adalah kesewanangan, penindasan, ketidakadilan, dan merajalelanya kebiadaban.
Namun agaknya, apa yang dikatakan Socrates ini belumlah bisa di dengarkan dan dilaksanakan oleh penegak hukum di negeri ini. Alhasil, karena ketidakadilan, karena kecewa, marah dan putus asa terhadap penegakan hukum maka kekuatan rakyat atau People Power untuk membebaskan cicak dalam jerat hukum laba-laba sampai saat ini terus berdatangan.
Dari tokoh masyarakat, tokoh parpol sampai facebookers yang menurut pengamatan penulis pribadi sampai saat ini dukungan tersebut telah lebih melebihi dari 1.000.000, dukungan. Dan ini membuktikan bahwa publik menginginkan adanya keprofesionalan dan ketransparanannya kasus ini dari Polri dan kejaksaan agung dalam mengusut tuntas kasus ini sehingga publik bisa mengetahui apa yang dikatakan Amin Raies bahwa siapa yang selama ini menjadi musang berbulu ayam, serigala berbulu domba atau genderuwo berbusana dewa segera terungkap. SEMOGA!!!i