Belajar, Ajarkan dan Amalkan

20 Okt 2009

To Be dan To Have Tuk Politisi Indonesia

MUNGKIN tidak salah ketika penulis mengatakan sekarang ini politisi-politisi di negeri ini seakan gila akan jabatan. Lihat saja, ketika pesta demokrasi terjadi, politisi-politisi ulung dan politisi “kamarin sore” berbondong-bondong mencalonkan diri. Menganggap dirinya seakan berkompeten di bidangnya sehingga layak dipilih oleh konstituen.

Hal ini tentunya beralasan, Fasilitas super mewah yang didapat, gaji ataupun tunjangan yang super tinggi dan lain-lain merupakan salah satu faktor utamanya. Hal ini tentunya tidak saja terjadi bagi politisi di daerah melainkan juga bagi politisi di tingkat nasional.

Seperti yang kita ketahui, saat ini media massa ramai memberitakan akan audisi dari para menteri. Puri Cikeas kini ramai sekali dikunjungi, bahkan menurut cerita ada yang menitipkan nama calon tersebut kepada mertua dari Presiden terpilih.

Prilaku gila akan jabatan dari politisi Indonesia ini tentunya membawa dampak tersendiri, sehingga konflik internal partai pun tak mampu terelakkan. Banyak petinggi partai yang membawa nama calon menteri tanpa melewati mekanisme baku dari partai itu sendiri. Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) misalnya, Partai yang menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia (LSI) Dodi Ambardi tampil sebagai challenger di ajang pemiliu. Kini seakan “merangkak-rangkak” meminta jabatan kepada SBY. Sehingga tak ayal Megawati pun harus menggelar rapat untuk dapat menyatukan pendapat mereka sendiri.

Selain itu, partai yang menjadi media darling ketika memasuki arena pemilu presiden pada juli lalu (baca, Golkar) pun tak kalah seperti PDIP. Harapan masyarakat agar kedua partai besar ini dapat menjadi pengawas di cabinet Indonesia Bersatu (KIB) II ternyata buyar sudah. Setelah Aburizal Bakrie terpilih menggantikan Jusuf Kalla sebagai ketua umum pada Munas Golkar lalu.

Selain PDIP dan Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan PPP pun tak mau juga ketinggalan. Elite di PAN misalnya mencari jalan lorong menuju Cikeas melalui caranya sendiri. Tak ayal hal-hal seperti ini mematik api konflik di tubuh partai tersebut.

Dari semua itu terkadang timbul pertanyaan penulis. Mengapa politisi-politisi seakan gila akan jabatan? Ada kata-kata yang sangat menarik dari brother David Steindl-Rast untuk dapat direnungi “Rasa syukur adalah kunci utama kebahagiaan yang ada di tangan kita karena jika kita tidak bersyukur, sebanyak apapun yang kita miliki kita tidak akan bahagia, karena kita akan selalu menginginkan hal lain atau lebih banyak lagi”

Apa yang dikatakan oleh David dan Rast mungkin adalah jawaban dari pertanyaan penulis diatas. Tidak adanya rasa syukur atau mensyukuri apa yang sudah dimiliki sehingga politisi tersebut seakan selalu merasa kurang. Dengan dalih bekerja untuk Negara, mereka mencalonkan diri namun kenyataan ketika terpilih mereka semua lupa, tak tahu diri dan tak tahu terima kasih.

Masyarakat sebagai konstituen kini merasa seakan dipinggirkan oleh orang-orang yang telah mereka pilih pada pesta demokrasi lalu. Milliaran terpakai dalam pesta tersebut dan apa yang kita lihat, apakah membawa dampak bagi Negara ini?

Apa yang menyebabkan hal ini bisa terjadi? Jamil Azzaini seorang trainer sekaligus inspirator pernah mengatakan bahwa ada dua kata yang sangat menentukan corak hidup seseorang. Kata yang pertama adalah To Be dan kata yang kedua adalah To Have.

To Be adalah keinginan kita untuk “menjadi”, sedangkan to have adalah keinginan untuk “memiliki”. To be dan to have ini memiliki perbedaan yang terletak pada tujuan yang hendak kita capai. Contoh dari to be itu sendiri ialah keinginan kita untuk menjadi seorang pengusaha sukses atau bagi seorang politisi keinginan ia untuk dapat duduk di kursi empuk dewan atau di kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Mengapa hal ini ia inginkan, karena politisi tersebut ingin memberikan sumbangsih buat bangsa, mengangkat citra bangsa dan mensejahterakan rakyat ini sebelum saat kematian tiba.

Sedangkan to have ketika politisi tersebut sudah lupa akan amanah yang akan ia emban.Yang ia kejar hanyalah fasilitas mewah, tunjangan ataupun uang-uang panas yang banyak beredar. Akhirnya ketika to have dari seorang politisi telah menjadi acuan hidup maka akan ia menghalalkan segala cara.

Korupsi yang merajalela di negeri ini adalah contoh kecil dari prilaku orang-orang yang menjadikan to have sebagai acuan hidupnya, sehingga tak ayal satu persatu orang seperti itu mendekam di balik jeruji. Namun demikian, to have bukanlah sesuatu yang dilarang. Tidak, hanya saja to have itu tidak boleh kita jadikan kendali dalam hidup kita. Bila seorang politisi menginginkan mobil mewah, rumah mewah maka pikirkanlah prestasi apa yang bisa diraih (baca, to be) agar apa-apa yang diinginkanya dapat tercapai.

Muhammad Yunus, seorang peraih nobel pada tahun 2006 telah menjadikan to be sebagai kendali hidupnya. Di suatu saat dia menginginkan kemiskinan itu hanya ada di museum. Simaklah pidatonya tersebut “ One day our grandchildren will go to museums to see what proverty was like” (The Independent, 5 May 96)

Selain M. Yunus, orang-orang terkaya di dunia pun telah menjadikan to be sebagi tujuan hidupnya. Bill Gates misalnya, ketika acara wisuda di Harvard University 7 Juni 2007 ia berpidato “Tetapi pencapaian terbesar kemanusiaan bukanlah pada penemu-penemuaanya__melainkan bagian penemuan tersebut di gunakan untuk mengurangi kesenjangan di dunia. Baik itu lewat pendidikan public yang kuat, kesehatan yang berkualitas maupun kesempatan ekonomi yang sangat luas__mengurangi kesenjangan merupakan keberhasila tertinggi umat manusia”

Luar biasa sekali, perntanyaannya kini dapatkah politisi di negeri ini lebih memilih to be sebagai kendali hidupnya? Lebih mencontoh orang-orang seperti Muh. Yunus dll? Jika tidak berarti kesejahteraan Indonesia pun belum akan tercapai dan masih akan tertunda tuk sementara, namun jika sudah maka mudah-mudahan, keberkahan hidup, kedamaian akan selalu mengikuti setiap masyarakat Indonesia. SEMOGA*i
posted by Irul Terate at 03.26 0 comments

Ironi Negeri Bernama Indonesia

Alkisah, seorang pemuda yang bermukim di Provinsi Lampung menghabiskan akhir pekannya dengan memancing di sebuah danau. Disana ia menemukan sebuah botol yang tertutup rapi yang kemudian diambil oleh nya.

Penasaran…..si pemuda ini membuka botol tersebut, tiba-tiba dari dalam botol keluar asap yang selanjutnya menebal dan menjadi Jin raksasa yang mengambang di depan si pemuda. “Terima kasih tuan, tuan telah membebaskan saya, untuk itu, silahkan meminta tiga permintaan, saya akan mengabulkannya” kata Jin, seperti format biasa tanda terima kasih Jin yang dibebaskan oleh manusia.

Setelah kagetnya reda, pemuda itu terdiam sejenak lalu berkata, “Baiklah Jin saya akan mengajukan tiga permintaan. Pertama, saya ingin kamu menjadikan Indonesia menjadi Negara yang punya ketabahan dan keteguhan. Kedua, saya ingin Indonesia bebas dari korupsi dan uang yang telah di korupsi oleh pejabat Negara atau swasta dikembalikan kepada rakyat dan ketiga, saya ingin Indonesia menjadi Negara yang sejahtera yang bisa dirasakan oleh semua masyarakatnya.”

Mendengar itu semua jin berpikir sejenak, kemudian pelan-pelan jasadnya kembali menjadi asap lalu berkumpul masuk ke dalam botol kembali. Dari dalam botol Jin berseru, “Tuan, jika ingin Negara mu menjadi seperti itu diperlukan komitmen dan managerial yang baik sehingga negaramu bisa keluar dari problematika umat yang sedang di hadapi saat ini”

Sepulang dari memancing, tanpa membawa hasil apa-apa sang pemuda Lampung tadi segera masuk ke dalam kamar dan memikirkan penjelasan dari Jin di danau tadi. Sejenak ia berpikir lalu mengiyakan apa yang dikatakan oleh Jin tadi bahwa semuanya membutuhkan komitmen dan managerial untuk mencapai kesejahteraan.

Managerial sangat dipentingkan untuk memecahkan permasalahan yang ada seperti sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan keamanan. Sedangkan komitmen yang kuat mendukung dari managerial yang ada, yang disini diharapkan lahir dari potensi-potensi yang dimiliki, seperti pemerintah, masyarakat dan swasta sehingga dengan demikian tidak ada lagi provinsi yang tidak bisa memberikan kesejahteraan pada masyarakatnya.
Salah satu provinsi yang sampai saat ini belum bisa mensejahterkan masyarakatnya ialah Lampung.

Provinsi yang pada tahun 1500 hingga 1800 M dikuasai oleh kesultanan Banten, saat ini menjadi Provinsi termiskin setelah Aceh. Walau banyaknya ketersediaan lada sebagai komoditi utama di Provinsi ini, sehingga pada 22 Agustus 1682 silam perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia yaitu Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) menginginkan hak monopoli perdagangan lada di Lampung, ternyata semua ini tidaklah membawa dampak apa-apa bagi kesejahteraan masyarakat di Provinsi Lampung. Terbukti tahun 2008 sekitar 21 % dari jumlah keseluruhan penduduk di provinsi Lampung tergolong miskin.

Lebih jauh, jika kita melihat Indonesia pun demikian. Lautnya luas namun isinya yang melimpah tidaklah membuat nelayan kaya, sumber batu bara buanyak tetapi pasokan listrik untuk PLN tidaklah mencukupi. Komoditas pertanian seperti beras, lada, kopi, coklat, minyak sawit, karet dan biji-bijian menduduki peringkat 1-6 dunia (Studi the economist, 2003) namun lagi-lagi hal tersebut tidak juga membuat petani sejahtera. Selain itu alam menginginkan nya menjadi penghasil kopi robusta terbesar kedua di dunia setelah Vietnam, dan juga produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah pantai gading dan Ghana, ekspor minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia mengalahkan tetangga kita yang mengklaim tari pendet (baca, Malaysia) dan masih banyak lagi keunggulan – keunggulan yang dimiliki Indonesia.

Namun lagi-lagi semua itu tidaklah mempunyai dampak sama sekali dalam penerapan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Ironisnya lagi seperti yang diungkapkan calon Wakil Presiden pada pemilu 2004 lalu, Siswono Yudo Husodo dalam bedah buku menuju welfare state di Semarang, Jawa Tengah. Indonesia memiliki utang luar negeri yang besar dan jumlah penduduk miskin yang tinggi (Kompas, ¾).

Lalu apakah yang salah dengan semua ini, kepada siapa hati ini mengadu, kepada siapa diri ini berharap dan kepada siapa rindu ini di labuhkan untuk mencari kesejahteraan di negeri ini? Menurut salah satu pakar manajemen, selalu ada jalan keluar dari sebuah krisis. Harapan itu memang selalu ada buat anak bangsa untuk selalu optimis. Namun, apakah jalan keluar itu akan ada jika kita hanya berdiam diri? Penulis pikir perubahan itu tidaklah akan terjadi jika kita hanya menanti dan menanti. Pertanyaan mendasar, bagaimana caranya melakukan perubahan tersebut? Berikut ini adalah gagasan dari penulis yang mudah-mudahan bermanfaat nantinya.

Pertama Adalah Pembentukan Pribadi Disiplin
Tepat 8 Juli lalu, salah satu media cetak yang ada di Provinsi Lampung memberitakan salah satu oknum di instansi pemerintah kedapatan memakai sandal pada saat bekerja. Hal ini menarik perhatian penulis untuk dicermati terutama berkaitan dengan disiplin. Disiplin atau taat kepada ketentuan yang berlaku sangatlah diperlukan untuk mencapai tujuan. Lee kuan yew, seorang menteri di Singapura pernah mengatakan bahwa “untuk bangsa-bangsa Asia termasuk Indonesia sangatlah diperlukan disiplin, dan disiplin di Negara Asia ini lebih penting dari pada demokrasi”, ujarnya.

Apa yang dikatakan oleh seorang penanggung jawab pembangunan Negara kota Singapura itu memang ada benarnya dan ini sudah dibuktikan sendiri oleh Singapura dalam keberhasilannya mencapai tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang tinggi hanya dalam waktu kurang dari 50 tahun. Bisakah Negara kita melakukan seperti itu?
Harvey Jones dalam managing to survive pernah mengatakan dalam pengalamannya ketika menulis bahwa “tidaklah mungkin mengubah organisasi yang tidak menerima kenyataan bahwa cara-cara yang sekarang mereka lakukan mengundang bahaya….organisasi hanya bisa berubah bila orang-orang di dalam organisasi juga berubah dan orang hanya akan berubah jika didalam hati mereka menerima bahwa perubahan harus terjadi”.

Perubahan memang mudah tuk diucapkan tetapi sulit diimplementasikan, padahal skill pribadi terbesar yang diperlukan di dalam dasawarsa ini ialah kemampuan untuk mengelola perubahan. Perubahan adalah pekerjaan hati dan pikiran, dan lokomotif dari perubahan itu sendiri adalah ketidakpuasaan dengan, dan kekhawatiran untuk mempertahankan status quo apalagi bila mengadakan perubahan itu “melawan” apa yang sudah menjadi kepercayaan orang dalam organisasi.

Budaya “ngaret” didalam bangsa kita misalnya adalah sebuah “kepercayaan” yang sudah melekat pada masing-masing pribadi masyarakat Indonesia, dan untuk melawan apa yang sudah menjadi kebiasaan tentunya tidaklah sangat mudah. Oleh karena itu, pembentukan pribadi disiplin sangatlah dipentingkan sekali disini. Karena untuk membangun kesejahteraan, baik perorangan maupun bangsa, disiplin sangat diperlukan.

Tidak ada bangsa yang sejahtera tanpa disiplin dan makin kuat disiplinnya makin besar kemampuan untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi. Singapura pun pada permulaan pembangunannya sekitar tahun 1960-an dimulai dari peningkatan disiplin, demikian juga Jepang.

Di Jepang, situasi kantor pemerintahan dan swasta bak seperti sekelompok semut. Tidak ada semut yang berdiam diri, apalagi membaca Koran atau sekedar ber- facebook-kan ria. Semuanya bergerak dari jam kantor sampai jam pulang, dunia barat pun demikian. Dan kini kita bisa melihat bagaimana Negara mereka, saat mereka menerapkan disiplin dari diri pribadi sampai masyarakat luas.

Lalu pertanyaannya, bagaimanakah membentuk pribadi berdisiplin? Membentuk dan mengajarkan seseorang untuk bersikap atau berkepribadian disiplin bukanlah hal yang mudah untuk diterapkan dalam kehidupan nyata, akan tetapi, bukan tidak mungkin ini juga dapat dilakukan dengan cara yang sangat sederhana misalnya dengan menggunakan jam kejujuran.

Jam kejujuran diberlakukan kepada setiap siswa sekolah sebagai generasi penerus. Karena apa, ”pemuda hari ini adalah pemimpin hari depan” Ujar Bung Hatta, artinya generasi muda ialah generasi pewaris negeri ini nantinya. Oleh karena itu perlunya pembentukan pribadi disiplin dengan jam kejujuran sedini mungkin harus dilakukan.
Jam kejujuran sendiri mempunyai arti jam kedatangan siswa di sekolah diisi oleh siswa itu sendiri. Artinya satu orang siswa memiliki satu buah jam kejujuran yang diletakkan di depan kelasnya masing-masing. Jadi disini siswa dituntut untuk jujur pada saat memutar jarum jam sesuai dengan jam kedatangannya ke sekolah.

Disana teman-temannya bisa melihat siapa yang datang pertama kali, siapa yang datang terlambat dan lain-lain. Semuanya terlihat di jam kejujuran, termasuk guru. Dan yang lebih dipentingkan, setiap hari adanya evaluasi kejujuran dari setiap siswa pada jam kejujuran ini. Dengan demikian, kita semua bisa mendapatkan banyak manfaat dari jam kejujuran, mulai dari kejujuran sendiri, kedisiplinan, dan kedekatan guru dan murid pun akan terasa karena setiap hari pertemuan dari evaluasi kejujuran itu berlangsung.
Selain itu, guna membentuk pribadi disiplin juga harus dimulai dari penggarapan lalu lintas. Seperti yang kita ketahui bersama, bagaimana wajah lalu lintas kita mulai dari sopir yang ugal-ugalan, sampai menerobos lampu merah.

Hal ini dilakukan tak lain kerena mengejar setoran tanpa melihat aspek keselamatan dari diri dan orang lain. Padahal bila kita bandingkan dengan Negara tetangga, hal itu tidaklah terjadi. Melewati garis berhenti waktu lampu merah sedikit saja sudah terkena sanksi. Nasehat dari para orang tua terdahulu untuk melihat kanan dan kiri sebelum menyebrang tidak lah berlaku lagi. Untuk itu semua, perlunya kesadaran dan peran Polri dalam menjalankan tugas dengan benar, karena lalu lintas sangatlah menyangkut masyarakat luas dan berdampak bagi banyak orang. Citra polisi yang hanya melakukan penahanan hanya untuk meminta uang belaka haruslah segera dihilangkan. Polri harus serius merobah dirinya dan dengan perubahan itu membuat masyarakat berubah menjadi lebih disiplin.

Ketiga, penegakan disiplin juga harus bersumber dari kepemimpinan. Baik itu kepemimpinan nasional maupun di setiap instansi yang harus tegas menyatakan perlu tegaknya disiplin di Indonesia. Bersamaan dengan itu memberikan tauladan dalam sikap dan perbuatan pribadi di setiap lembaga, sehingga masyarakat sadar bahwa Indonesia secara serius menegakkan disiplin. Lalu mendorong seluruh lembaga pemerintahan dan masyarakat untuk berbuat hal yang sama.

Pemberlakuan disiplin di Institusi ini dapat kita lakukan dengan penerapan disiplin absen dengan menggunakan absen sidik jari yang dibatasi oleh waktu. Misalnya jam dikantor di Indonesia umumnya ialah dimulai dari jam 08.00-16.00 wib. Pemberlakuan absen dalam pembatasan waktu dengan toleransi sekitar 5 menit dari awal jam kerja (artinya batas waktu absen ialah sampai 08.05 wib) , begitu juga jam pulang. Hal ini dilakukan agar membatasi pegawai yang datang dengan tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Kedua Adalah Pembentukan Pribadi Malu Korupsi
“Yang menghancurkan Indonesia ya korupsi”! Begitulah lontaran jawaban yang dikatakan oleh Slank ketika ditanya mengenai korupsi. Korupsi di Negara kita memang ibarat kangker ganas, dan boleh jadi apa yang dikatakan oleh Slank itu adalah suara hati dari seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Karena memang korupsi itu ialah tujuan dari perjuangan para aparat penegak hukum dan elemen perjuangan. Begitu banyak upaya dikerahkan untuk melawan korupsi sampai-sampai seluruh Negara di berikan rangking korupsinya.

Korupsi selalu dianggap berhubungan dengan kesejahteraan sebuah bangsa. Negara bersih, Negara bebas korupsi, Negara semakin sejahtera. Dimana-mana selalu ada justisfikasi seperti itu. Bagaimana Indonesia? Untuk Negara kita memang belum banyak berubah. Dalam berbagai survey kita belum bisa beranjak dari nomor urut bontot, 2007 misalnya kita berada pada urutan 143 dari 183 negara yang disurvei. Tahun 2008, “naik” sedikit menjadi 126 tetapi tidak lebih baik dari Nigeria, Vietnam bahkan Ethiopia. Namun di 2009 ini, kita ditetapkan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) sebagai Negara terkorup se-Asia pada 9 April lalu yang penulis sebut sebagai kado di hari pencontrengan Indonesia di sebuah opininya.

Itulah sebuah kenyataan bersama yang harus kita hadapi. Perang terhadap korupsi semestinya bukanlah hanya tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indonesia Corruption Watch (ICW) atau lembaga lainnya, melainkan tugas utama kita semua untuk memeranginya karena dampak dari praktik korupsi sangatlah terasa sekali, mulai dari ekonomi dan demokrasi menjadi hancur, sampai tidak adanya good public. Karena itu, bagaimana pun juga tidak ada satu agama manapun yang menurut penulis membenarkan praktik korupsi karena dampaknya yang begitu besar nantinya. Lalu bagaimanakah caranya menekan angka korupsi tersebut?

Seperti apa yang dikatakan oleh Jin terhadap pemuda Lampung tadi bahwa bila Indonesia ingin keluar dari problematika umat, maka yang diperlukan ialah komitmen dan managerial yang baik. Bagaimana komitmen dari semua element (analisis potensi) dan juga bagaimana managerial yang baik (strategi pemecahan masalah) untuk menekan angka korupsi. Hal ini dapat dilakukan, pertama dengan pemberlakuan kantin kejujuran, sekolah anti korupsi dan pojok anti korupsi disetiap sekolah. Hal ini diperlukan guna membentuk akar kejujuran bagi generasi muda sedini mungkin.

Kedua ialah membentuk Rumah Anti Korupsi (RAK). Rumah anti korupsi ini didirikan per Kabupaten, sarana yang digunakan dapat menggunakan rumah sederhana. Orang-orang yang mengelola RAK ini adalah orang yang mempunyai komitmen yang tinggi akan pemberantasan korupsi. Rumah ini nantinya berisikan akan data-data pejabat Kabupaten tersebut yang melakukan korupsi. Mulai dari foto, jumlah uang yang dikonsumsi dan hukuman yang diterimanya. Selain itu, RAK juga tentunya bisa dengan mudah melakukan kreatifitas atau terobosan baru guna mensosialisasikan perang terhadap korupsi kepada semua lapisan masyarakat, misalnya dengan membuat iklan, baik cetak maupun elektronik atau bekerja sama dengan stasiun radio atau televisi daerah setempat untuk mengadakan rubrik selamat pagi koruptor yang berguna “menjemput bola” berupa menerima indikasi awal dari penyelenggara Negara atau swasta yang terlibat korupsi .

Hal ini sangatlah diperlukan sekali, karena doktrin melalui iklan jika dilihat pada masa kampanye lalu mampu membentuk persepsi publik tersendiri. Terbukti cara kampanye paling efektif menarik hati pemilih ialah iklan di Tv (Tempo, 26-26 Juli 2009). Lalu kenapa tidak kita lakukan hal serupa pada perang terhadap korupsi? Selain itu, pemberian rangking dari provinsi terkorup dan terbersih pun perlu dilakukan. Hal ini berguna untuk memotivasi tiap provinsi untuk membebaskan provinsinya dari jerat korupsi.

Hal yang tidak kalah penting lagi selain kantin kejujuran, SAK, PAK dan RAK adalah proses perekrutan yang baik dan benar. Jika kita melihat siapa yang terbanyak melakukan korupsi tak lain ialah penyelenggara Negara kita yang berkembang biak sampai kelurahan.

Seperti survey yang dilakukan terhadap 500 responden di Jakarta dan Surabaya pada 11-20 November 2008 yang dilakukan oleh Transparansi International Indonesia (TII) yang menyimpulkan bahwa Legislatif mendapatkan skor tertinggi 4,4 dari skala satu sampai lima, disusul oleh Peradilan (4,1), Partai Politik (4,0), Pegawai Publik (4,0), Sektor Bisnis (3,2), dan (2,3) untuk media dalam hal korupsi ( Tempo, 8-14 Juni 2009)

Kenapa hal ini bisa terjadi, karena tak lain bermula dari proses perekrutan yang tidak benar. Munculnya orang-orang seperti Abdul Hadi Djamal, Bulyan Royan, dan Al-Amin Nasution dan tumpulnya palu hakim pada Pengadilan Negeri Makassar yang membebaskan 35 tersangka korupsi (Tempo, 6-12 April 2009) adalah bermula dari proses perekrutan yang tidak benar.

Punya siapa dan punya berapa yang diutamakan, padahal hal inilah yang bisa membentuk mental aji mumpung bagi seorang pejabat nantinya. Seperti juga yang saat ini menjadi dugaan adalah fit and proper test pada calon anggota Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang diduga banyak kongkalikong dalam uji kelayakan dan kepatutan tersebut. Bagaimana tidak orang-orang hebat seperti mantan wakil ketua KPK yang juga eks Dirut PT Timah Bangka Belitung Erry Riana Hadjapamekas, pejabat teras Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Bambang Pamungkas dll yang diuji oleh temannya sendiri. Jika dilihat, maka fit and propet test ini syarat dengan kolusi seperti halnya pengakuan dari mantan anggota DPR dari Fraksi PDIP Agus Condro yang menyatakan menerima uang Rp 500 juta saat meloloskan Miranda Goeltom sebagai deputi Gubernur senior Bank Indonesia (Tempo, Juni 2009)

Oleh karena itu dalam melakukan seleksi diperlukanlah prinsip good governance (keadilan, persamaan, transparansi, supremasi hukum dan akuntabilitas (world conferenceen governance, UNDP, 1999). Hal ini sangat perlu dilakukan karena faktor manusia (man) sangatlah dominan dalam pencapaian tujuan organisasi. Karena manusia adalah faktor penggerak (independent) dari faktor lainnya yang dependent. Jika manusia baik dan berkualitas, faktor yang lainnya dapat digerakkan secara baik. Jika manusianya tidak berkualitas faktor yang lainnya juga akan rusak. Untuk itu proses perekrutan yang benar perlu dilakukan.

Dari semua gagasan tersebut sangatlah perlu dilakukan, karena pola tersebut tidak saja menjadikan masyarakat sebagai objek tetapi juga sebagai subjek dalam program pembentukan Indonesia yang punya kebanggaan dan keteguhan, yang tidak rendah diri dan malu untuk korupsi. Sehingga Ironi negeri bernama Indonesia ini hanyalah ada di kompetisi esai Tempo ini nantinya. SEMOGA*
posted by Irul Terate at 03.19 0 comments