Belajar, Ajarkan dan Amalkan

29 Agu 2009

RAMADHAN UNTUK KEBANGKITAN NEGERI

TAK terasa Ramadhan tahun ini telah menghampiri kita semua. Disaat pekikan kata-kata merdeka yang tadinya menyelimuti suasana di lapangan dari berbagai lomba kini, lambat laun surut dan berganti menjadi pekikan takbir dan ucapan Marhaban Ya Ramadhan yang bergaung di hampir setiap masjid. Hal itu wajar saja terjadi sebagai ungkapan syukur kita sebagai hambaNya karena telah di berikan kesempatan untuk dapat menyambut bulan agung, bulan penuh rahmat dan ampunan yaitu bulan suci Ramadhan.

Bulan Ramadhan disebut sebagai sayyidus syahur, artinya raja dari semua bulan. Ia ibarat tamu agung yang mengetuk semua pintu hati dari setiap manusia untuk membukanya. Namun dari semua pintu yang diketuk tidaklah semuanya yang membukakan pintu tersebut dan mempersilahkan masuk tamu agung tersebut.

Satu lintasan sejarah Rasulullah SAW, menarik untuk disimak. Suatu ketika di penghujung bulan Sa’ban. Lelaki bijaksana yang teladannya mampu menginspirasi banyak manusia dengan kata-katanya yang mampu menemus tabir, Rasulullah SAW tengah memberikan pencerahan kepada para sahabat, kaum muslimin dan muslimat, “Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan magfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam yang paling utama. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihanilah anak-anak yatim, niscaya dikasih manusia anak-anak yatimmu. Bertobatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. “ (H.R. Ibnu Huzaimah)

Jika kita mengacu kepada sepenggal khotbah Rasulullah menjelang Ramadhan. Rasulullah telah menjelaskan makna, kedudukan dan peranan dari Ramadhan. Mulai dari melatih kita untuk berdisiplin dan bersabar, Ramadhan juga mengarahkan kita dapat berempati terhadap penderitaan rakyat miskin.

Ramadhan sejatinya selalu dinantikan bahkan dirindukan sebagai oasis. Dirindukan kehadirannya karena dapat melakukan refleksi atas jejak-jejak perjalanan, baik kita sebagai insan manusia maupun Indonesia sebagai sebuah bangsa. Sebagai seorang insan, Ramadhan tentunya bisa merefleksi kadar iman kita agar menjadi Laa allakum tattakun (Manusia yang bertaqwa) nantinya.

Buya Hamka menggambarkan aspek yang lebih mudah melihat arti taqwa yaitu taqwa terkandung sikap dan perasaan positif seperti cinta, kasih, harap cemas dan ridho kesabaran Tuhan. Serta merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup kita, sehingga kita dapat selalu berkomunikasi dengan Tuhan. Dengan demikian hadirnya puasa akan menghadirkan tiga perubahan fundamental nantinya terhadap pelaku puasa yaitu adanya pengalaman keberagamaan yang selalu menghayati akan kehadiran Tuhan yang selalu dekat di kehidupan manusia, aspek logisnya akan terjadi penjunjungan tinggi nilai-nilai kedamaian, kebenaran dan keadilan.

Kedua, perubahan fundamental terhadap orang yang kekurangan artinya jiwa persaudaraan terlahir bagi pelaku puasa. Ketiga, dalam puasa kita dilatih untuk menjaga sikap dan menahan segala macam hawa nafsu termasuk nafsu amarah. Dengan demikian akan terlahirlah nilai-nilai tersendiri bagi insan yang telah melakukan puasa.

Sedangkan sebagai sebuah bangsa Ramadhan tentunya dapat membangkitkan gairah yang lahir agar dapat mendorong semangat bangsa untuk dapat terbebas dari daya angkara murka karena sejarah telah banyak mencatat akan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada bulan-bulan ramadhan. Seperti pada Jum’at, 17 Ramadhan tahun ke-2 H (623 M), kaum muslimin dibawah pimpinan Rasulullah berhasil mengalahkan keangkuhan kafir Quraisy. Kemenangan ummat islam terhadap bangsa Mongol pada perang’ Ain Jalut (dekat Nablus di Palestine) dilakukan pada Jum’at 15 Ramadhan 658 H. Perang ‘Ain Jalut merupakan peristiwa besar dalam sejarah islam dan merupakan kemenangan pertama yang berhasil dicapai oleh kaum muslimin terhadap orang-orang Mongol.

Selain itu bagi bangsa kita Indonesia, Ramadhan juga memiliki arti tersendiri yaitu kebangkitan dari penjajahan karena Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 silam ialah juga bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H.

Jika kita melihat lintasan sejarah diatas Ramadhan adalah momentum kebangkitan, oleh karena itu sudah sepantasnyalah jika Ramadhan kali ini dapat menjadikan bangsa kita untuk dapat mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara seperti cita-cita dari para pendiri bangsa kita terdahulu.

Kebangkitan Negeri

Sudah bukan menjadi rahasia bagi bahwa bangsa kita Indonesia kini dihadapi oleh upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan kebangsaan, mulai dari pengangguran, kemiskinan sampai masalah terorisme. Memasuki bulan ramadhan kali ini rakyat juga kembali dipaksa untuk menghadapi kenyataan menghadapi naiknya bahan-bahan pokok sampai kelangkaan akan minyak tanah (Lampung Post, 25/8)

Sungguh menjadi ironi tersendiri bagi bangsa ini dalam menghadapi permasalahan-permasalahan kebangsaan disaat sebenarnya kita dikelilingi oleh sumber daya alam yang melimpah ruah. Ini tak ubahnya seperti ayam yang mati dilumbung padi.

Upaya pemerintah sebenarnya untuk mengatasi permasalah-permasalahan kebangsaan sudahlah maksimal namun upaya tersebut seringkali berjalan seperti seorang yang memintal benang hingga menjadi kain dan kemudian diuraikannya kembali kain tersebut (baca, sia-sia)

Dengan banyaknya berbagai persoalan kebangsaan janganlah lantas membuat kita menjadi putus asa dan bersikap apatis. Bukanlah semangat untuk bangkit justru lahir dari keterpurukan. Bukankah situasi sulit mampu membuat sebuah bangsa menjadi dewasa, ibarat sebuah pensil jika kita analogikan, bahwa untuk mempertajam sebuah pensil diperlukanlah sebuah sayatan-sayatan tajam dari silet agar pensil tersebut dapat digunakan kembali dan dapat menghasilkan tulisan-tulisan yang jelas nantinya.

Bangsa kita memang saat ini sedang dihadapi oleh krisis berkepanjangan, akan tetapi harapan untuk maju menjadi sebuah bangsa yang kuat tentu masih ada. Apalagi saat ini ramadhan adalah bulan mulia dan Indonesia telah memasuki usia yang ke-64 tahun, tentunya bukanlah usia yang terlalu dini untuk bangkit.

Bangkit menjadi bangsa yang berdaulat, yang mampu mengolah kekayaannya secara optimal. Bangkit menjadi bangsa yang menetapkan regulasinya yang lebih condong kepada masyarakat dari pada pemilik modal.

Jadi alangkah indahnya jika di bulan penuh berkah ini, seluruh jajaran pemerintah dan masyarakat bersama-sama berkomitmen dan meneguhkan pendirian untuk mau bangkit membangun Indonesia ini karena pada dasarnya bahwa perubahan sudah tidaklah bisa ditunda lagi. Saatnya bagi kita semua memulai sebuah gerakan yang menintegrasikan nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai moral agama ke dalam setiap system di Negara kita karena moral keagamaan akan berfungsi sebagai kendali terhadap nafsu serakah manusia tentunya. SEMOGA*

Diterbitkan di Penulislepas.com 27/8 dan Lampung Ekrpes Plus 28/8/09


posted by Irul Terate at 03.49 0 comments