Belajar, Ajarkan dan Amalkan

9 Jun 2009

KEBEBASAN BERPENDAPAT SEOLAH DIBUNGKAM

(Sudah diterbitkan di Opini Trans Lampung, 11 Juni dan koran Lampung 12 Juni 2009)


”Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan. Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International”.

Itulah sebagian isi email berupa keluh kesahnya yang menyebabkan Prita Mulyasari Ibu dua anak ini bisa mendekam di lembaga pemasyarakatan wanita Tanggerang Banten karena telah dianggap melanggar pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan pasal 21 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE) dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara.

Lain Prita lain pula Fifi Tanang. Karna kekecewaannya Fifi lantas menulis surat pembaca mengenai status kepemilikan apartemennya yang semula hak guna bangunan murni ternyata belakangan berada di atas hak pengelolaan lahan pemerintah daerah (Tempo, 18-24 Mei 2009) Karna kekecewaan Fifi lantas menulis keluhannya melalui surat pembaca kesejumlah media seperti, The Jakarta Post, Kompas, Suara Pembaruan, Bisnis Indonesia, Media Indonesia dan Warta Kota. Namun surat pembaca tersebut hanya diterbitkan di Warta Kota edisi 4 November 2006 dengan judul “ Hati-hati modus operasi penipuan PT Duta Pertiwi”.

Sama seperti kasus Prita surat pembaca yang ditulis oleh Fifi membuat pihak manajemen PT Duta Pertiwi tersinggung, alhasil Fifi juga diperkarakan ke meja hijau oleh pihak manajemen PT Duta Pertiwi karna telah dianggap melakukan pencemaran nama baik. Pertanyaanya apakah benar-benar mereka telah mencemarkan nama baik?

Menurut analisis wacana (Teknik menganalisis naskah yang bertujuan menemukan jalan pikiran yang terdapat dalam naskah yang dianalisis) yang dilakukan oleh dosen Ilmu komunikasi FISIP Universitas Indonesia Ibnu Hamad. Email tersebut hanyalah narasi dalam bentuk keluhan yang sangat lazim apabila seorang mengalami kekecewaan atas pelayanan, selain itu sifat tulisannya pun cenderung deskriftif belaka. Jadi intinya isinya hanyalah keluhan demi keluhan yang dialami oleh Prita.

Waduh…ternyata mengerikan juga mendengarnya hanya karna keluhan yang dituangkan dalam bentuk tulisan bisa berurusan dengan hukum. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Hukum di Negara kita memang seperti pisau yang hanya memiliki satu mata sisi yang tajam. Artinya ketajaman itu hanya bagi orang-orang “kecil” sedangkan untuk orang-orang “besar” sisi hukumnya sangatlah tumpul sekali. Hal ini menjadi sebuah kenyataan, lihat saja koruptor-koruptor kelas kakap yang menyebabkan Negara kita 9 April kemarin di nobatkan sebagai Negara terkorup oleh PERC sampai sekarang masih bisa berlenggang-lenggong dan dapat menghirup udara dengan santainya atau kalaupun sudah tentunya prosesnya masihlah bisa ditunda-tunda. Jadi wajar saja jika didalam kasus orang kecil seperti Prita ini banyak didukung oleh public mulai dari dewan pers, facebooker sampai calon presiden pun ikut-ikutan menjadi ‘pembela’ Prita Mulyasari. seperti yang dilakukan oleh capres Megawati dan Jusuf Kalla yang menyebabkan Prita dapat keluar dari tahanan dan bertemu dengan dua anaknya walaupun status tahanan kota masih di pundaknya. Namun selesaikah semua masalah?

Nasi sudah berubah menjadi bubur, semua sudah terlanjur sampai ke jalur hukum walaupun kasus ini ditangani oleh jaksa yang kurang professional maka sebagai warga Negara yang baik Prita pun harus tetap menjalani persidangan dan mentaati aturan yang ada walau kebebasan berpendapat kini seakan tidak berguna lagi. Padahal kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara dan jaminan atas hak ini pun secara tegas dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 28 yaitu “kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya yang ditetapkan oleh Undang-Undang”. Selain itu di pasal 28 E Ayat 2 juga menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatukan pikiran dan sikap sesuai dengan nuraninya” sedangkan di ayat 3 “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Selain itu di dalam deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, Pasal 19 pun menyatakan “bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dengan tidak memandang batas-batas wilayah”. Dengan seabrek pasal yang di tetapkan oleh Undang-Undang tersebut ternyata kita bisa melihat adanya jaminan untuk bersuara “bebas” bagi masyarakat Indonesia. Lalu mengapa kasus Prita dan Fifi bisa dikatakan pencemaran nama baik, padahal mereka hanyalah mengeluarkan curahan hatinya?

Kasus ini seakan-akan mengembalikan ingatan kita kepada suatu zaman dimana orang-orang yang ingin bersuara lantang haruslah siap-siap berhadapan dengan pihak kepolisian dan penguasa selain itu hukum pun pada saat tersebut di tegakkan dengan kacamata kuda. Memang menurut KUHP warisan Belanda ini, hukuman bisa langsung dikenakan apabila ancaman tindak pidana yang dilakukan di atas lima tahun, ada surat penahanan yang jelas dan berpotensi menghilangkan barang bukti atau melarikan diri. Lalu apakah Prita Mulyasari ini akan melarikan diri disaat dia sedang menyusui dua balitanya? Penulis pikir itu adalah sesuatu yang tidaklah masuk akal, menurut Jusuf Kalla dalam blog pribadinya bahwa dalam menghukum seseorang kita harus bisa lebih adil, teliti betul persolannya, ketahui persoalannya baru kita putuskan. saya berprinsip lebih baik kita membebaskan 10 orang yang bersalah daripada kita menghukum 1 orang yang tidak bersalah.

Di dalam kasus ini seakan-akan terjadi keinginan jaksa untuk sesegera mungkin memenjarakan Prita. Di dalam majalah Tempo edisi 8-14 Juni mengemukakan bahwa yang menjadi masalah di dalam kasus tersebut ialah pasal 27. Majalah Tempo mengemukakan bahwa pasal tersebut adalah cacat terbesar Undang-Undang Informasi. Pasal itu tak ubahnya pasal karet karena defenisi “mencemarkan nama baik” bisa ditarik ulur sesuai dengan kepentingan pihak yang kuat. Nah sekarang sudah jelas bahwa yang menjadi sumber masalah ialah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, terutama pasal-pasal yang menyangkut kebebasan berpendapat, perlu segera di revisi sebelum Prita-Prita yang lainnya bermunculan karna di dalam perkembangan yang syarat informasi dan tak ada batasnya lagi ini tidak berkemungkinan email, facebook dll adalah sesuatu yang lazim bagi seseorang dalam menyampaikan keluh kesahnya ketimbang buku catatan hariannya sehari-hari.

posted by Irul Terate at 23.06 0 comments

7 Jun 2009

DARI MODERLAND KE KPK

Berita mengenai pemilu dan koalisi partai-partai dalam menghadapi pilpres mendatang pada minggu-minggu ini seakan membisu sejenak setelah adanya pemberitaan mengejutkan dari berbagai media yang ada akan terungkapnya tersangka pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) yang di muntahkan dua tembakan oleh pengendara sepeda motor Yamaha Scorpio di kawasan Danau Moderland Tanggerang, 14 Maret lalu sesaat setelah Nasrudin pulang dari bermain golf. Berita yang tidak hanya menjadi sorotan media di Indonesia ini sekarang selalu menjadi headline di setiap media baik itu media cetak maupun elektronik. Bagaimana tidak, seorang pejabat Negara yang semula diragukan kiprahnya kini telah menunjukkan taringnya lewat komisi pemberantasan korupsi (KPK) dalam mengusut setiap kasus korupsi yang ada di Negara ini.

Prestasi gemilang tersebut kini seakan menjadi terbalik ketika dirinya terbujuk pada gemerlapnya dunia dan kini ia telah ditetapkan menjadi salah satu tersangka actor intelektual dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Ya, Antasari Azhar (AA) ketua KPK nonaktif ini seakan menjadi diva karna telah menjadi sorotan dunia. Pembunuhan yang kini telah dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat ini diduga akibat adanya pesona dari gadis golf yang bernama Rani Juliani atau Tika, seorang caddy di tempat biasa Nasrudin dan Antasari menghabiskan waktunya dengan bermain golf. Benar tidaknya kejadian mengejutkan ini karna berlatar belakang seorang wanita atau tidak kini pihak kepolisian tengah menyelidikinya dan memastikan tidak mau terburu-buru dalam menetapkan motif pembunuhan tersebut karna bagaimanapun menurut pihak kepolisian masalah yang menimpa Antasari ini adalah masalah yang komplek namun andaikan benar kejadian ini karna motif asmara maka tentunya bertambahlah lagi deretan kasus-kasus yang serupa.

Kasus yang serupa menimpa Antasari ini seakan mengingatkan kita semua akan kasus-kasus seperti cerita dari Yahya Zaeni, Max Moein, Al Amin Nasution politisi dari partai PPP bahkan jauh sebelum kita dilahirkan pun Qobil dan Habil mengalami hal yang demikian. Entah ini suatu hal yang kebetulan atau tidak kita tidak mengetahuinya namun yang jelas harta, tahta dan wanita seakan sering melupakan tujuan hidup kita yang sesungguhnya. Untuk itu perlunya mengingat tujuan hidup kita yang sesungguhnya mudah-mudahan bisa melepaskan kita dari gemerlapnya dunia yang fana ini.

posted by Irul Terate at 06.11 0 comments