Belajar, Ajarkan dan Amalkan

13 Des 2009

People Power Generasi Koin

Negeri ini memang penuh dengan ironi. Disaat “malaikat-malaikat” di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui pansus Century mencoba mencari kebenaran, disaat itu pulalah masyarakatnya melalui gerakan koin untuk Prita Mulyasari mencoba mencari keadilan di dalam sebuah tumpukan jerami.

Bagi penulis ada hal yang sangat menarik sekali dari gerakan koin untuk Prita terutama ketika penulis bersama dengan teman-teman yang tergabung di dalam Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bandar Lampung memanfaatkan momentum wisuda pada kamis (10/12) kemarin untuk menggugah wisudawan-wisudawati untuk ikut mengumpulkan koin-koin peduli Prita.

Ketika itu seorang anak kecil, dengan didampingi kedua orang tuanya membuka tas dan memberikan recehan-recehan uang tabungannya yang sudah dibungkus dengan plastik putih. Kepada penulis ia berujar, “Ini Om untuk Tante Prita”, dengan tersenyum dan bangga penulis menerima tabungannya tersebut sembari mengucapkan terima kasih kepada anak kecil tersebut. Terbesit dipikiran penulis, ini lah yang harus tertanam dari generasi-generasi bangsa ini yakni mengenai kepedulian terhadap sesama.

Kepedulian untuk bahu membahu membantu Prita Mulyasari yang terkena gugatan oleh Rumah Sakit Omni Internasional sebesar Rp 204 Juta memanglah sangat tampak sekali. Pengumpulan koin ternyata terjadi secara besar-besaran dan meluas ke berbagai daerah. Baik dari anak-anak usia dini sampai pada orang tua. Mulai dari ibu kota sampai keberbagai pelosok dan pinggiran kota. Bahkan ketika RS Omni dengan tegas mencabut gugatannya, generasi-generasi koin tersebut pun tetap saja berdatangan silih berganti ke setiap pos-pos koin peduli Prita.

Di Bandar Lampung saja misalnya, berdasarkan pengamatan penulis pribadi ketika bertandan ke posko peduli Prita yang terletak di depan pasar Koga ini, setidaknya sekitar delapan jutaan uang koin berhasil terkumpul sampai hari Jum’at sore. Hal ini tentunya menunjukkan animo kepedulian yang sangat tinggi dari masyarakat kita yang bertujuan tak lain dilakukan sebagai bentuk empati generasi koin untuk meringankan beban dari Prita Mulyasari.

Generasi koin, terutama bagi anak usia dini dalam koin untuk Prita setidaknya telah mengajarkan kepada mereka semua sebuah sisi positif untuk terlibat di dalam interaksi sosial di dalam masyarakat. Rasa empati itu telah hadir dari generasi kita sejak usia dini, dan seharusnya kita wajib merasa bangga atas kepedulian tinggi tersebut.

Namun di balik kebanggaan itu, kini terlahir juga rasa keprihatinan yang sangat mendalam terutama ketika kita berbicara mengenai keadilan di negeri ini. Keadilan di negeri ini tak ubah seperti suatu zaman modern yang merupakan bagian dari hermeneutics of suspicion yaitu zaman marxizme.

Ketika palu diketukkan oleh Hakim, terasa benar apa yang diingatkan pada zaman tersebut bahwa keadilan dan kebenaran selamanya adalah keadilan dan kebenaran dari yang berkuasa. Dengan kata lain, di dalam rumusan dan penentu kebijakan selalu ada perebutan hegemoni dan pertarungan kekuasaan antara si kaya dengan si miskin, si besar dengan si kecil dan si lemah dengan si kuat.

Hal ini tentunya mengingatkan kita semua pada 79 tahun silam lamanya. Ketika itu bung Karno memulai pledoinya dengan sebuah statemen yang sangat menarik sekali. Sebuah statemen yang menunjukkan, betapa palsunya klaim pemerintah kolonial bahwa kebenaran dan keadilan yang hendak ditegakkannya dalam tubuh hukum adalah kebenaran dan keadilan yang universal.

Bung Karno menyatakan apa yang salah di dalam hukum yang digunakan hari itu dengan pernyataan, “Tuan-tuan hakim, kami disini di dakwa bersalah menjalankan hal-hal, yang sangat sekali memberi kesempatan lebar pada pendapat subyektif……………”

Jaksa ketika itu menyatakan bung Karno bersalah berdasarkan pasal “pemberontakan” namun menurut bung Karno pribadi pasal itu seperti haatzaai artikelen atau pencegahan penyebaran rasa benci. Dimana pasal itu mengandung kata-kata yang bisa di tafsirkan seenaknya oleh yang membacanya, terutama para jaksa dan para kolonial (Catatan pinggir Tempo)

Seperti itu lah sesungguhnya kasus yang menimpa Prita Mulyasari saat ini. Setidaknya ia harus menghadapi dua tuntutan sekaligus. Pertama, Prita di vonis oleh Hakim untuk membayar ganti rugi terhadap Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra yang saat ini gugatan yang pertama kini telah dicabut. Sedangkan yang kedua, ia masih harus menghadapi perkara pidana terkait dengan pencemaran nama baik terhadap rumah sakit tersebut.

Kedua tuntutan ini menurut kandidat doktor hukum kesehatan dari Universitas Gajah Mada M. Fakih, di dalam opininya membangun komunikasi dokter dan pasien yang diterbitkan di harian ini, Sabtu (12/12) tidaklah seharusnya dialami Prita jika pihak Omni dalam hal ini telah memberikan pelayanan bermutu sebagaimana undang-undang kesehatan No 36/2009 yakni mengenai ketetapan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.

Selain itu juga, hal ini tidak akan terjadi jika Omni mengikuti pola hubungan patient-center care atau partnership yang pada dasarnya merupakan pola perawatan kesehatan yang pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan pasien. Dimana pasien mempunyai suatu otonomi penuh atas dirinya. Pasien sangat menentukan keputusan-keputusan medis yang akan diterima. Pasien bebas untuk menerima atau menolak tindakan medis yang ditawarkan oleh Dokter.

Namun kini semua telah terjadi, walaupun secara perdata gugatan tersebut telah dicabut namun kini setidaknya Prita harus berhadapan dengan pencemaran nama baik yang diadopsi dari pasal-pasal karet dan aturan yang menurut bung Karno ketika ia ditetapkan bersalah dan dihukum empat tahun penjara dan di kurung di Sukamiskin ini merupakan pasal atau aturan karet yang keliwatan kekaretannya.

Artinya aturan tersebut dapat direntangkan dan dikerutkan sesuai dengan kepentingan sepihak atau apa yang di katakan Soekarno sebagai subyektif. Dari itu semua dapat tersimpulkan bahwa keadilan dan kebenaran yang bersifat universal seharusnya bagi semua orang, kini telah direduksi menjadi pasal-pasal. Dengan kata lain, yang universal, yang tak terhingga telah dikuasai oleh bahasa, system simbolik yang mau mendikte karena berkuasa.

Untuk itulah Presiden pertama kita mengingatkan kita semua mengenai retorika yang di kenal sebagai Indonesia Menggugat. Bahwa menurut bung Karno diberi hak-hak atau tidak diberi hak ; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan ; diberi penguat atau tidak di berikan penguat-tiap-tiap machluk, tiap-tiap ummat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti achrirnja berbangkit, pasti achirnja bangun, pasti achirnja menggerakkan tenaganja, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan tjelakanja diri teraniaja oleh suatu daja angkara murka.

Dan kini tiap-tiap ummat dan tiap-tiap mahluk seperti apa yang dikatakan oleh Bung Karno melalui koin peduli untuk Prita Mulyasari telah bangkit dan bangun untuk mencari sebuah cahaya terang yang bernama keadilan. Hal itu dilakukan karena keadilan di negeri ini kini mungkin sama persis seperti digambarkan di dalam novel Kafka, Der Proseb yakni ialah mengenai keadilan yang mempunyai sayap pada tumit kakinya.

Dimana keadilan bisa terbang dari satu tempat yang tak terbatas, terutama ketika hukum telah merasa menjadi hukum yang begitu angkuh seperti sekarang ini, hari ini dan yang terjadi di negeri penuh dengan ironi ini, Indonesia ku. Wallahu’alam Bishawabi
posted by Irul Terate at 22.05 0 comments